Dusk Hill

22 2 0
                                    

Right now I don't know why I love you
But by the morning when we wake up
I'll reach for you and remember
It was just a paper, just a papercut

(Zedd feat Troye Sivan - Papercut)
.
.
.
.
.

Tepat setelah mandi dan berganti pakaian aku merebahkan tubuhku diatas kasur dan terlelap hingga semburat senja memantul di dinding kamarku. Tapi aku melewatkannya. Aku terbangun dan menatap jam dinding, pukul 9 malam.

Ah! Aku melewatkan senja sore ini. Damn. Aku tidur lama sekali. Ponselku berdering, tanganku meraba-raba kasur dan mencari ponselku, ini Sean.

Aku bangun dari tidurku dan seketika duduk di atas kasurku.

“Halo Sean?” ucapku berusaha tak terdengar begitu bersemangat mengangkat teleponnya, meskipun aku sangat bersemangat sekali.

“Letta, aku sudah di depan rumahmu.”

Apa? Dia sudah di depan rumah? Aku berlari menuruni tangga dengan tidak sabar, Sean sudah berdiri di depan pintu rumahku. Dia berdiri di sebelah motor besar berwarna biru tua miliknya. Aku pernah melihat motor itu ada di parking garage  apartemennya.

Ditangannya ada bucket mawar pink, dia menyodorkan bucket bunga itu padaku.

“Untukmu.” Ujarnya tersenyum sangat manis.

Aku bertanya-tanya sesaat, apakah senyum manisnya itu bagian dari sihirnya, apakah ada sihir dalam senyumnya itu. Aku mengerjapkan mataku, berusaha mengenyahkan fikiranku.

“Ayo ikut aku.” Sean menarik tanganku lembut.

“Kemana?”

Tanpa menjawab pertanyaanku Sean mengeluarkan sehelai kain hitam dan menutup mataku. Aku tersenyum lebar. Ia mengenakan helm padaku lalu menuntunku naik motornya yang lumayan tinggi untuk gadis sependek diriku. Motor menyala, mesinnya meraung. Sean menarik tanganku ke depan, di lingkarkan di dadanya yang bidang.

“Siap?” tanyanya, aku mengangguk.
Motor segera melesat menuju entah kemana, aku hanya mempererat pegangan tanganku.

Tiba-tiba di benakku timbul pertanyaan mengapa Brad tidak pernah memboncengku dengan motor, padahal dia berada di geng motor, dia selalu bersama mobilnya saat akan bepergian denganku.

Suara bising kendaraan dan ramai khas kota besar perlahan sedikit berkurang, angin menerpa tubuhku lebih kuat. Tak lama motor berhenti, Sean membantuku turun, ia sedikit mengangkat tubuhku. Sepertinya aku tahu dimana aku berada.

“Apa sekarang kita ada di Dusk Hill?” tanyaku.

“Benar.” Jawabnya ringan seraya melepaskan penutup mataku.

Aku membuka mataku, pandanganku buram, kuusap mataku lalu mengerjap beberapa kali sampai aku melihat dengan jelas di hadapanku. Sebuah meja makan dengan dua kursi menghadap ke pemandangan lampu-lampu kota, ada lilin-lilin mengelilingi meja makan itu. Ada euphoria dalam dadaku, aku menoleh ke arah Sean, tak sadar jika mataku berbinar menatapnya.

“Ayo..” Sean menarik tanganku membawaku duduk. Ia segera duduk di hadapanku setelah aku duduk.

“Tunggu, aku punya sesuatu untuk kita makan.” Tangannya merogoh kolong meja.

Ia mengeluarkan kotak pizza, dua kaleng minuman bersoda dan kotak lainnya berisi burger dan pasta.

Apa ini juga bagian dari usahanya untuk melindungiku? Jika iya, maka dia melakukannya dengan sangat dan luar biasa hebat.

“Maaf ya, aku tidak sempat memasak jadinya hanya memesan makanan ini.” dia menatapku, nyengir, remang-remang cahaya lilin tidak mengurangi sorot tampan dari wajahnya.

The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang