Feelings

5 0 0
                                    

Aku menarik nafas panjang dan mulai menceritakan semua peristiwa yang kualami, terutama semenjak King and Queen Festival, tentang ciuman Breva dengan Sean, juga tentang Breva yang bisa dengan bebas dan indah menyentuh setiap inchi dari wajah Brad, sementara aku tidak bisa, seperti biasa, seorang sahabat yang baik, Anna selalu mendengarkan semua cerita dan keluh kesahku dengan baik.

Tak ada satupun rahasia kecil yang tak kuceritakan padanya, dia tahu semua yang kualami.

Aku hanya gadis biasa di tengah kota Orlando, dan segala yang terjadi di hidupku, kepergian orang tuaku, kesendirianku, aku tidak bisa menahannya sendiri. Semuanya kuluapkan melalui cerita-cerita sepiku pada Anna, dia selalu jadi teman terbaik untuk berkeluh kesah.

Kuceritakan padanya bahwa aku merasa perasaanku berubah aneh. Aku sangat kesal dan marah hanya karena melihat Sean berciuman dengan Breva, meskipun itu tidak disengaja dan bukan termasuk salahnya.

Tak lama pelayan datang dan mengantarkan pesanan kami, jadi aku menghentikan ceritaku.

“Jadi  kau dengan Sean--?” tanya Anna membuat kedua alisku terangkat tinggi.

“Kurasa terjadi sesuatu pada diriku. Aku jadi sulit memahami perasaanku akhir-akhir ini.” aku menggigit bibir bawahku.

“Kau mulai menyukai Sean..” ujar Anna santai, ia menyesap caramel machiatonya.

“Apa? Kenapa kau bisa begitu cepat menyimpulkannya.” Aku sedikit terkejut mendengar jawaban Anna. Dia terlihat seperti sudah tahu jika ini akan terjadi padaku.

“Aku bisa menyimpulkannya dari rasa nyamanmu ketika berada di sekitarnya, atau rasa cemburumu pada Breva--”

“Tunggu-tunggu. Aku tidak cemburu.” Aku masih tidak percaya dan mengelak pada perasaanku.

Anna terkekeh geli, ia menatapku lekat-lekat. “Jangan terlalu menahan perasaanmu Letta, aku tahu kau menyukai Sean, atau mungkin mengaguminya juga. Sean punya kemampuan untuk melakukan itu padamu, juga pada gadis-gadis lain.”

Aku terdiam dan berfikir sejenak, selama ini aku sudah terlalu terbiasa dengan kesepian dan kesendirian di rumah. Hingga aku sulit untuk membiarkan orang lain masuk ke hidupku.

"Aku rasa aku terlalu egois. Bagaimanapun Sean adalah sahabatku seperti halnya dirimu Anna. "

"Tidak apa apa jatuh cinta pada teman sendiri," ucap Anna. 

"Ah iya,  aku hanya takut apa yang kita miliki sekarang akan berubah. Aku tidak rela rasanya melihat Sean bersama gadis lain. "

Anna yang tengah meneguk caramel machiatto-nya segera berhenti dan menatapku lekat-lekat, ia seakan sangat terkejut dengan ucapanku. Aku justru heran menatap ekspresinya itu.

“Letta, kau jatuh cinta pada Sean..”  ucap Anna pelan, raut wajahnya tampak girang, kata-katanya singkat, tak panjang namun mampu membuat semesta di kepalaku menjadi kacau. Bagaimana mungkin?

“Tapi.. ini aneh aku tidak--” kalimatku menggantung, aku merasa bimbang.

“Lettaa..” Anna memegangi pundakku. “Kau jatuh cinta pada orang yang tepat, terimalah kenyaaan itu.” Ucap Anna tersenyum. Ia terlihat lega.

Jatuh cinta? Tidakkah kalimat itu terlalu berat bagiku, aku tidak mengerti bagaimana cinta, mungkin yang terjadi padaku adalah aku menyukainya, bukan mencintainya. Cinta terlalu rumit untuk diartikan sebagai satu subjek saja.

“Tapi Anna aku tidak hanya merasakan itu pada Sean, aku juga merasakannya pada Brad.” Ucapku.

Detik itu juga aku melihat senyum lenyap dari wajah Anna, kedua pundaknya merosot, dengan jelas aku bisa melihat kedua pupilnya mengecil secara drastis. Rahangnya tampak mengeras. Kenapa dia hingga se-terkejut itu.

“Haha, kau mungkin salah tentang perasaanmu, kau tidak mungkin menyukai dua orang yang sama sekaligus.” Anna tersenyum kaku.

“Tidak, Anna. Perasaanku benar-benar untuk Brad juga.” Ucapku yakin. Wajah Anna semakin pucat.

Aku meremas rambutku. “Bagaimana aku bisa mengenyahkan mereka berdua dari fikiranku.” Aku berkata dengan frustasi.

“Sebagai sahabatmu, aku tidak bisa memaksa perasaanmu, tapi kau tidak bisa mencintai dua orang sekaligus Letta. Lepaskan salah satu atau tidak sama sekali.” Ujar Anna. Raut gelisah tak kunjung hilang dari wajahnya.

“Aku bingung, ini aneh. Tidak seharusnya aku merasakan ini pada mereka.” Aku menggedikkan bahuku.

Teringat di fikiranku jika Sean bukanlah manusia,  dia adalah Oddes.  Apakah perasaanku padanya merupakan bagian dari ilusinya?  Sihir yang ia ciptakan?

Tapi aku memang menyukainya.

“Kenapa kau mencintai Sean?” Tanya Anna, aku menatapnya.

Dia terus menggunakan kata ‘mencintai’ itu. Seolah aku memang mencintai, aku hanya.. menyukai.

“Karena dia sangat baik, sopan, lembut, dan begitu peduli padaku. Juga sangat tampan, meskipun aku tidak terlalu mempedulikan ketampanan dari seorang laki-laki. Dia adalah sosok idaman semua wanita.” Jawabku.

“Kenapa kau mencintai Brad?” Tanya Anna lagi.

Kali ini aku terdiam cukup lama.

“Aku tidak tahu kenapa aku mencintainya.” Jawabku. Seketika pundak Anna merosot, kedua bola matanya membiaskan sendu.

“Kau kenapa?” tanyaku.

“Kau tahu? jika kau mampu menjawab alasanmu jatuh cinta pada seseorang, itu berarti bukan cinta. Karena jika kau mencintai seseorang, kau takkan memerlukan alasan apapun.”

Deg.
Aku mengerti apa yang dimaksud kalimat Anna. Itu berarti aku ….
Mencintai Brad.

Aku rasa ‘cinta’ terlalu berlebihan, aku hanya menyukainya. Aku tidak percaya rasanya jika aku menyukai Brad lebih dari Sean.

Jika seorang perempuan menyukai sosok tampan, lembut, hangat, dan sopan seperti Sean, yang selalu berhati-hati dalam bersikap, yang selalu melindungimu,  yang tidak pernah memasuki kamarmu ataupun rumahmu tanpa izin seperti yang Brad lakukan. Jika perempuan menyukai sosok seperti Sean itu wajar, sangat wajar, akan jadi tidak wajar jika ada yang tidak mengambilnya sebagai salah satu tipikal laki-laki idaman.

Tapi Brad? Bagaimana bisa seorang perempuan sepertiku.. menyukainya. Sosok penuh masalah itu, misterius, tidak tahu asal usulnya dan keluarganya, pergaulan buruknya dengan teman-temannya, sikap tidak sopannya, perokok, pecandu alkohol. Tidak ada kelebihan yang membuat perempuan seharusnya menyukainya. Kecuali jika karena seringainya, dan wajah manisnya meskipun pada ekspresi dingin dan serius sekalipun.Tapi aku benar-benar tidak peduli dengan parasnya.

Aku baru tersadar, saat melihat wajah Anna pucat pasi.

“Anna, kau tak apa? Apa kau sakit?” Aku menyentuh tangannya.

“Tidak apa, perutku sedikit sakit, sepertinya asam lambungku.. Aku-- ke toilet dulu.” ia beranjak dari kursinya.

“Biar kutemani--”

“Tidak usah. Tidak usah.” Ujar Anna tegas.

Aku menatap punggung Anna, apa yang terjadi padanya? Dan.. Asam lambung? Sejak kapan dia punya penyakit asam lambung? Aku rasa Anna menyembunyikan sesuatu dariku.

***

Menurut kalian kenapa respon Anna kaya gitu?

The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang