Drunked Man

51 4 0
                                    

I need the sun to break
you've woken up my heart
I'm shaking, all my luck could change
Been in the dark for weeks
and I've realized you're all I need 
And I hope that I'm not too late,
I hope I'm not too late

(James Bay - Need The Sun to Break)
.
.
.
.
.

Malam ini aku memutuskan duduk di luar, mencari angin, memandangi gemintang dari sudut balkon. Ditemani rembulan dan segelas caramel coffee hangat.

brukk.’

Aku menoleh terkejut dan mendapati sosok itu berdiri di belakangku. Brad. Sial, kenapa dia selalu muncul secara tiba-tiba, misterius, dan dimanapun.

Aku mengabaikan keberadaannya.

Dia bergeming di tempatnya menatapku. Angin malam berhembus, mengantarkan aroma tubuhnya yang berbau rokok dan alkohol. Berapa banyak ia mengkonsumsi benda-benda itu dalam sehari?

“Apa maumu datang kesini?” nadaku ketus.

“Kau selalu galak seperti biasa, dan aku tetap menyukaimu karena itu.”

Aku hampir mendengus, tidak percaya dengan kata-kata manisnya yang membuat wajahku memanas dan jantungku berdegup kencang saat ini.

Aku menggigit bibir bawahku. Haruskah aku minta maaf padanya atas perkataanku yang menyinggungnya? Eh tapi untuk apa? Dia melakukan yang lebih parah kepadaku, meninggalkanku ketika di arena balap, tapi dia sama sekali tidak meminta maaf padaku. Belum lagi sikapnya dua hari belakangan ini, dia sering terlihat bersama Breva. Aku masih membencinya, karena semua sikap menyebalkannya, dan masalah yang ia timbulkan.

“Sepertinya aku merindukan suasana kamarmu.” Ujarnya santai, beranjak masuk ke kamarku.

Aku berjalan tergesa mengikutinya. “Hei. Bisakah kau setidaknya permisi dulu, aku pemilik rumah ini. Kau selalu datang dan masuk tanpa izin, seperti penguntit.” Cerocosku.

Lelaki itu berbalik, mata biru safirnya yang tajam itu menatapku.

“Tidakkah sebutan penguntit itu terlalu jahat untuk sosok semanis aku?” dia menyeringai.

Ah sial. Dia memang manis.

Aku berkacak pinggang, menatapnya dengan menantang. Brad berbalik memunggungiku, ia berjalan menyusuri meja belajarku, tempat dimana lukisan karyaku dan bunga-bunga dari Sean berjejer rapi, banyak yang sudah layu diantaranya, kering, bahkan rontok kelopaknya, tapi aku tetap menyimpannya. Selalu terselip pesan yang sama di setiap bunga ‘semoga harimu menyenangkan’. Aku tidak tahu mengapa ia selalu menggunakan kalimat itu disetiap pesan. Jemari tangannya menyentuh bunga-bunga itu.

“Sepertinya Sean benar-benar menyukaimu.”

“Dia tidak menyukaiku.” sergahku.

“Tentu saja dia menyukaimu, aku juga.” Ucapnya.

Aku membeku ditempatku, ia baru saja mengatakan bahwa dia menyukaiku.

“Lihat banyak bunga yang Sean berikan padamu.” gumam Brad, aku mendengarnya dengan jelas.

“Bagaimana kau tahu itu dari Sean?”

“Aku tahu semuanya tentangmu Letta.” Jawabnya tanpa menoleh ke arahku.

Brad mendengus pelan, “Lelaki itu bahkan tidak tahu apa yang kau suka dan apa yang tidak kau suka. Lihat? Dia memberimu bunga, padahal kau membenci bunga, itu mengingatkanmu pada pemakaman.” Ia menoleh ke arahku lalu menyeringai.

Kedua alisku terangkat, terkejut. Bagaimana dia tahu aku benci bunga, dan bagaimana dia bisa memikirkan alasannya juga bahwa bunga mengingatkanku pada pemakaman. Itu sangat tepat dengan apa yang terjadi padaku.

The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang