Si Trouble Maker

17 0 0
                                    

LETTA POV

Pukul 02.16

Aku terbangun lagi tengah malam karena bunyi benda jatuh. Kuhembuskan nafas berat. Aku tahu itu Brad. Aku berangsur duduk di kasurku.

“Aku tahu itu kau.” 

“Wow. Aku terkesan.” Brad keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan mendekat. Wajahnya terkena sorot cahaya lampu yang masuk melalui kaca pintu balkon. Masih terlihat tampan di bawah sinar itu.

“Aku tahu semuanya, semua hadiah yang kau kirimkan untukku di tengah malam. Aku tahu itu darimu. Kau bilang gaun itu untuk Ratumu Breva, tapi kenapa kau berikan padaku?” aku menggeleng tak mengerti, melipat kedua tanganku di depan dada.

“Memang untuk Ratuku, kau Letta. Seharusnya kau yang jadi Ratuku.” Ujar Brad, ia berjalan mendekat kemudian duduk di tepi ranjangku.

“Kalau begitu kenapa kau tidak mengatakannya, memintaku menjadi Ratumu.”

“Waktu itu aku bingung bagaimana memintamu menjadi Ratuku, aku sudah berfikir bahwa kau akan menolakku mentah-mentah. Lalu aku putuskan untuk bertanya padamu bagaimana mengajak seorang gadis yang sulit kudapatkan untuk jadi Ratuku. Kau menjawab bahwa gadis itu takkan menolakku, aku cukup senang mendengar jawaban itu. Aku belum sempat memohon padamu, atau berlutut di hadapanmu atau mengucapkan kalimat ‘Letta, maukah kau menjadi Ratuku?’. Aku belum sempat melakukan itu, lalu Anna datang membawa kabar gembira untukmu bahwa Sean sudah pasti akan memintamu jadi Ratunya.” Dia bercerita tanpa sedikitpun mengalihkan matanya dariku.

Jadi di hari itu Brad ingin mengajakku menjadi Ratunya. Oh. Benar dugaanku. Aku menggigit bibir bawahku. Padahal di hari itu hanya Anna yang datang membawa berita bahwa Sean akan memintaku jadi Ratunya, hanya sebuah berita, Sean belum mengajakku. Brad masih punya kesempatan, ia bisa memintaku jadi Ratunya, mendahului Sean. Tapi kurasa dia terlalu pesimis. Dia takut akan kutolak mentah-mentah.

“Kau tahu? Jika saja aku memenangkan King and Queen Festival aku akan menolak semua hadiah itu, dan aku hanya meminta kau sebagai hadiahku. Tapi itu mustahil. Lebih baik jika aku tak melihatmu dan Sean memenangkan festival itu. Jika kalian menang, kalian akan liburan bersama berdua, dan aku akan sendiri tersakiti disini. Maafkan aku karena terlalu egois.”

Aku terdiam sesaat. Semua perasaan berkecamuk dalam dadaku. Ini semua ulahnya, dia sengaja membuka kotakku, agar aku tidak menang, agar aku tidak memenangkan hadiah itu bersama Sean. Dia sengaja melakukan itu,  dia merencanakannya.

Aku sudah tidak bisa marah padanya lagi. Dia sudah terlalu sering mengacaukan hariku dan merusak mood-ku, membuatku kesal. Sekarang ketika dia melakukannya lagi aku sudah tidak mampu marah lagi, atau kecewa lagi padanya, sudah habis sisa-sisa kecewaku yang bisa kukeluarkan.

Lagipula Brad baru saja mengakui kesalahannya. Lelaki egois sepertinya mengakui kesalahannya. Dia meminta maaf padaku. Bukankah dia selalu tidak peduli dengan perasaanku?

“Apa kau kesini hanya untuk memberitahuku itu?” tanyaku sok datar.

“Tidak juga. Sebenernya aku memang selalu disini setiap malam, memperhatikanmu tidur, menarik selimutmu jika terkadang angin malam membuatmu dingin. Kau tidak pernah tahu itu.” Jawabnya.

Kurapatkan rahangku, aku tidak ingin terbawa oleh perasaan itu. Aku menahan perasaanku untuknya. Aku tidak tahu perihal kebenaran ucapannya itu, bahwa ia sering masuk kamarku hanya untuk memperhatikanku tidur atau menarik selimutku. Tetapi aku memang sering terbangun tengah malam karena bunyi benda jatuh, atau merasa seperti sesorang tengah memperhatikanku. Jika itu memang Brad, kenapa dia melakukan itu?

Ia berdiri, melipat kedua tanganya di depan dada. “Aku ingin kau menonton black race-ku lagi,  besok malam. Aku ingin kau datang untukku.” Imbuhnya.

“Kenapa kau ingin aku datang dan menontonmu lagi? Agar aku bisa melihat Breva menciummu?” tanyaku sinis.

Brad mendengus pelan, ia menyeringai. “Lihat? Kau cemburu pada Breva. Apa yang membuatmu cemburu padanya? Kau mempunyai segalanya yang bahkan Breva tak punya.”

“Apa?” tanyaku.

“Hatiku.” Jawabnya.

Aku membuang tatapanku dari wajahnya, berusaha menahan perasaan mendebarkan di dalam dadaku. Sial. Apa yang dia lakukan padaku? Membuatku blushing dan jantung berdegup kencang.

“Katakan itu lain kali, malamku buruk dan kau memperburuknya. Pergilah.” Ucapku lemah menarik selimutku hingga atas kepala.

Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan perasaanku padanya. Samar-samar aku mendengarnya menghembuskan nafas berat, langkah kakinya terdengar menjauh, sosoknya pergi.

Apapun itu, aku telah memaafkannya. Bagaimanapun dia merusak hariku, membuatku sakit, hebatnya aku selalu punya cara untuk memaafkannya ; tanpa syarat.

***

The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang