#22

2.5K 150 0
                                    

                  

*** 

Gia berjalan menyusuri bibir pantai. Menikmati hembusan angin yang menerpa tubuhnya. Juga, rindu yang datang bersamaan.

Duduk di pasir pantai memandang lautan lepas. Merupakan cara terbaik meredam segala gejolak jiwa di hatinya.

"Gia.." sapa Sasa yang juga ikut duduk disampingnya.

Gia menoleh, melemparkan senyuman.

Keduanya diam. Hanya sapuan ombak yang terdengar dan bisikan angin malam.

"Aca mana?"

"Lagi sibuk telfon Rangga." Kalimat itu terdengar pilu di telinga Gia.

Hening. Seketika semua menjadi hening.

"Cinta itu kayak matcha. Enak untuk beberapa orang, tapi gak semua orang suka.."

Sasa menoleh. Mendengarkan dengan baik setiap kalimat yang terlontar dari mulut sahabatnya.

"Untuk yang gak suka, rasanya pasti aneh. Tapi, kalo buat yang emang suka, mau panas atau dingin, itu akan terasa enak," lanjut Gia.

Gia menoleh, menatap mata sahabatnya, Sasa.

"Kalian itu sahabat gue. Kita akan terus begini, sahabatan. Jangan biarin hal sekecil apapun merusak persahabatan kita. Karena, diluar sana, akan ada orang yang senang melihat kita hancur."

Sasa diam.

"Cinta memang harus dikejar. Tapi, ada kalanya ia harus dilepaskan. Bukan karena tak sayang, namun memang karena tak pantas diperjuangkan."

Deburan ombak menambah suasana sendu dalam hati Sasa malam itu.  Ia membiarkan rintikan airmata itu terus terjatuh membasahi pipinya.

"Let him go. You deserve to get better."

"Gi.."

"Dia bukan orang yang pantas diperjuangkan kalo kerjaannya Cuma ngobral cinta sana-sini. Bukan seperti itu cara laki-laki mendapatkan cinta perempuan."

Tak terasa, airmata itu benar-benar jatuh membasahi pipi gadis yang rambutnya terurai itu. Gia memeluk sahabatnya. Erat.

"Kadang, Tuhan harus mematahkan hati kita agar kita belajar, apa arti sabar sesungguhnya."

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang