Playlist #5 : Happily by One Direction

413 31 3
                                    

Genre : fanfiction Ashton Irwin
Length : 900+ words

"You don't understand, you don't understand
What you do to me when you hold his hand
We were meant to be but a test of faith
Made it so we had to walk away,"--Happily by One Direction

Ashton tidak pernah percaya bahwa di umurnya yang ke dua puluh satu ini, dia harus datang ke pasar malam yang penuh dengan permen kapas, permainan, kembang api, dan jangan lupa, anak-anak. Jika saja Sharon, kekasihnya, tidak menyuruhnya ke sini, dia pasti akan jauh lebih memilih berada di kamar atau melakukan hal lainnya yang bukan pergi ke pasar malam.

Ashton mendengus kesal, ia kemudian membawa kakinya untuk menendang-nendang tanah dan menekan punggungnya pada tembok. Matanya teredar, berharap menemukan sosok gadis berambut cokelat di tengah keramaian pasar malam yang hampir membuatnya pening.

Ashton benar-benar tidak habis pikir alasan mengapa Sharon membawanya ke tempat ini. Bukankah akan lebih mudah jika ia pergi ke restoran atau café atau bahkan Mc Donald dan sejenisnya?

Di sisi lain, Ashton merasakan sesuatu seperti firasat buruk. Ashton tidak dapat memastikan apakah firasatnya ini biasanya benar atau tidak, tapi Ashton berharap firasatnya ini tidak benar. Ashton tidak tahu bagaimana di--

"Ashton?"

Pemikiran Ashton mengenai firasat buruk yang menghampirinya serta merta hancur ketika sebuah suara lembut mampir ke indra pendengarannya, menyebut namanya dengan cara yang sangat indah. Saat berbalik, di sanalah Sharon berdiri, tak dapat menahannya, Ashton menerbitkan senyum lebar yang mungkin mampu merobek bibirnya.

Sharon melangkah semakin mendekat, membuat Ashton semakin dapat memperhatikan lekuk wajah gadis itu. Senyum lebar milik lelaki itu secara perlahan memudar saat menyadari Sharon sama sekali tidak tersenyum, wajahnya datar dan bibirnya memebentuk garis tipis.

Firasat itu semakin menakutkan.

"Ada apa?" bisik Ashton.

Tolong jangan bila--

"Kau tahu 'kan tentang keluargaku yang tidak suka denganmu karena kau seorang anggota band?" Sharon bertanya, tangannya secara perlahan bersembunyi di balik kantong celana jinsnya.

Ashton semakin merasa semuanya terasa menakutkan. Ia sepertinya tahu apa yang hendak Sharon katakan sebentar lagi.

"Mereka bilang akan segera mencarikanku seseorang yang jauh lebih baik darimu. Aku pikir mereka sedang bercanda atau tidak benar-benar serius tapi--"

Sebelum Sharon sempat menamatkan kalimatnya, tangan Ashton terangkat, memberi kode untuk Sharon agar diam. Menurut, Sharon menutup mulutnya dan menggigit bibirnya. Ia takut akan reaksi Ashton, sejujurnya.

Ashton menghela napas. Ia sangat tahu segala hal yang ia lakukan memiliki konsekuensinya masing-masing, termasuk untuk bersama Sharon. Sejak awal dia mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, ia tahu bahwa kemungkinan dirinya ditolak oleh keluarganya sangat besar, kemungkinan sakit hati sangatlah besar. Dia tahu. Tapi Ashton tidak tahu bahwa segalanya akan menjadi sesakit ini.

Mungkin, jika dia mengencani gadis-gadis yang ia kenal dari kelab atau gadis-gadis band, segalanya tidak akan sesulit ini. Namun apa dikata? Dia sudah terlanjur suka dengan Sharon. Dan saat ini, satu-satunya gadis yang ia inginkan adalah Sharon. Hanya Sharon.

"A-aku tahu ... tapi ... Sharon, kau masih menyukaiku 'kan?"

Ashton benci menjadi melankolis. Dia sangat benci seperti ini. Namun, mungkin malam ini adalah sebuah pengecualian.

Sharon tersenyum pahit. "Tentu. Aku masih sangat menyukaimu. Tapi, aku tidak bisa, Ashton, aku tidak bisa tidak mendengarkan ucapan keluargaku."

Ashton kembali menarik napas dengan sangat berat, seolah sesuatu menghalanginya melakukan itu. Matanya menyelami mata hijau Sharon yang diam-diam sangat ia kagumi. Mata itu baginya memiliki sesuatu hal yang magis, yang berbeda dengan yang dimiliki gadis bermata hijau lainnya.

"Sharon?"

Baik Sharon maupun Ashton segera menoleh. Seorang pemuda nampak berdiri beberapa langkah dari mereka sembari menggandeng seorang gadis kecil yang dengan senyuman lebar memakan permen kapasnya.

"Apa kau sudah selesai? Kalau sudah, ayo kita harus segera ke sana." Pemuda asing itu berkata sembari menunjuk ke sebuah tempat yang Ashton sendiri tidak tahu namanya.

Ashton kembali menatap Sharon dan menghadiahi gadis itu wajah penuh tanya dan rasa penasaran yang tak dapat ditahan.

"Dia adalah lelaki yang dipilihkan keluargaku, kami ke sini bersama kemenakannya," ujar Sharon, "kurasa dia sudah menunggu, kalau begitu aku pergi dulu. Omong-omong terima kasih untuk segala kenikmatan, kehangatan, kasih sayang, dan hal lainnya yang sudah kau berikan padaku. Tiga tahun itu waktu yang sangat singkat, sebenarnya."

Sharon memberikan Ashton sebuah senyuman kemudian bergerak pergi. Sebelum Sharon melangkah lebih jauh, tangan Ashton sudah menggenggam pergelangan gadis itu, menghalangi langkahnya. Bingung, Sharon menoleh, memandangi Ashton yang tengah memasang wajah terluka.

"Apa kau tidak bisa bersamaku?" Ashton berbisik, "I mean, kau masih menyukaiku, aku juga masih sangat menyukaimu. Kita menjalankan segalanya selama 3 tahun ini. Apa kau tidak bisa bersamaku? Tinggalkan dia dan kita bisa hidup bersama. Bahagia."

Sharon memandang Ashton selama beberapa detik lamanya sampai gadis itu menggenggam tangan Ashton yang masih berada di pergelangan tangan kanannya dan secara perlahan, ia menarik tangan itu menjauh. Tak bisa ia pungkiri, ia sangat berharap bahwa apa yang Ashton katakan sangat mudah seperti kedengarannya.

"Ashton ... bukankah sudah kukatakan padamu? Ini tentang keluargaku, aku tidak bisa menolak."

"Fuck! Kau tidak perlu peduli pada mereka karena aku juga tidak peduli! Lagipula, bukankah 3 tahun ini kau sangat tidak peduli pada mereka?"

"Aku tidak peduli karena kupikir mereka tidak akan serius dengan ucapannya, namun segalanya sudah berbeda Ashton! Aku senang menghabiskan waktu bersamamu, aku senang jika kita terus bersama, namun saat ini tidak semudah itu."

Dengan itu, Ashton tidak dapat berbuat apapun. Dia hanya dapat melihat Sharon yang bergerak pergi menjauh, menghampiri seorang pemuda-entah-siapa dan menggenggam tangan pemuda itu sembari tertawa bersama seorang gadis kecil yang sibuk merasakan manisnya permen kapas.

Ashton tidak menyangka, perjalanannya bersama Sharon tiga tahun ini berakhir hanya dalam satu malam, di sebuah pasar malam yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan karena terdapat banyak tawa anak-anak. Inilah satu alasan lagi mengapa Ashton membenci pasar malam.

Ini semua begitu menyedihkan, apalagi setelah Ashton mengingat bahwa kemarin ia baru saja melewati hari yang sangat menyenangkan dengan Sharon. Mereka saling berciuman, berpegangan tangan, tertawa, dan membagi sebuah senyuman lebar. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang karena kali ini bukan tentang Ashton dan Sharon namun tentang Sharon dan seorang pemuda-entah-siapa dan gadis kecil.

Ah, tapi, Ashton tidak terlalu peduli. Dia hanya ingin Sharon dan sepertinya begitupula dengan Sharon. Dia akan terus berusaha mendapatkan gadis itu lagi, dan hidup bahagia bersamanya

"I don't care what people say when we're together,"--Happily by One Direction

"I know you wanna leave so c'mon baby be with me so happily,"--Happily by One Direction

====

Dialog Musik (One Shots)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang