Jam telah menunjuk pukul dua belas saat kakiku akhirnya menginjak lantai kamar. Dari jendela dengan gorden tersibak, dapat kulihat langit hitam pekat, cahaya rembulan yang biasanya nampak kini tertutupi oleh gumpalan awan.
Aku mendesah. Benar-benar waktu yang pas untuk tidur. Hari ini aku menghadapi terlalu banyak hal yang membuatku frustasi sekaligus berhasil menguras habis tenagaku. Tidur adalah hal yang aku inginkan sekarang, dengan hujan yang terlihat akan turun, aku yakin tidurku akan semakin nyenyak.
Tepat di saat aku hendak menarik turun celana jins hitam yang seharian ini memeluk kakiku, aku mendengar bel apartemenku berbunyi. Keningku berkerut, siapa yang datang selarut ini?
Dengan buru-buru, aku kembali menata ritsleting celanaku dan berjalan ke arah pintu. Kubuka benda yang terbuat dari kayu itu yang mana berhasil membuatku berhadapan dengan sosok pria yang mengenakan kaus putih serta celana jins pendek berwarna cokelat.
Oh, tidak lagi....
Raphael, pria itu, melemparkan senyumnya ke arahku. "Hey!"
"Hey! Apa yang kau lakukan di sini?"
Raphael mengangkat tangannya yang membawa sebuah tas plastik berwarna putih. Dari situ aku dapat melihat nama restoran kesukaanku.
Oh, jangan bilang....
"Aku dengar pekerjaanmu hari ini sangat melelahkan--"
"Siapa yang mengatakannya?"
"Kakakmu--"
"Ah, yeah, tentu saja."
Aku tidak bisa menyalahkan Damian, kakakku itu terlalu sering menghawatirkan keadaanku, dan saat dia khawatir, dia tidak akan berpikir dua kali untuk membagi kekhawatirannya pada orang lain, dan karena Raphael adalah satu-satunya orang yang sering bersama dirinya--kecuali kekasihnya, tentu saja--Damian jelas menceritakan semuanya pada pria itu.
"Jadi, kupikir kau pasti belum makan dan--"
"Aku sudah makan."
"Oh." Senyum yang tadi menghiasi wajah Raphael kali ini menghilang digantikan sebuah kerutan pada keningnya. Aku hampir merasa bersalah. Hampir.
Seperti yang aku katakan tadi, pria di hadapanku ini adalah sahabat dari kakakku semenjak masih kecil, hal ini membuat aku dan dia menjadi dekat. Aku selalu menganggapnya sebagai kakak keduaku, aku bisa mengadalkannya ketika Damien memiliki hal lain yang harus ia lakukan. Kami memiliki hubungan yang sangat dekat, namun semuanya seketika berubah ketika dia mulai mengungkapkan perasaannya padaku.
Awalnya, aku menolaknya dengan cara halus, memberitahunya bahwa dia adalah teman sekaligus kakakku, tapi rupanya Raphael tidak pernah menyerah. Dia terus berusaha untuk mendapatkanku dan hal itu membuatku merasa jengkel sekaligus risi. Hal ini membuatku tak lagi bersikap baik untuknya. Meskipun aku kesal harus memperlakukannya dengan cara yang buruk, aku tidak memiliki pilihan yang lain.
Saat dia tidak mengatakan apapun lagi, aku tersenyum, "sudah ya, Raphael, aku ingin pergi tidur," kataku kemudian menutup pintu tepat di hadapannya.
Aku bisa mendengar suara rintikan air hujan dari luar. Ahh ... sekarang tiba waktunya untuk tidur.
[-][-][-]
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Musik (One Shots)
Krótkie OpowiadaniaKumpulan cerita pendek yang tertulis berdasarkan lagu-lagu yang saya dengar. Highest rank so far #141 in Short Story Collection of short stories by yossi novia since 2016 Some of my stories already publish on my personal blog : itskygirl...