"Eva Anindya!" Bu Arik berteriak, suaranya menggema ke seluruh penjuru ruangan.
Aku berdehem sebelum akhirnya bangkit berdiri dan berjalan ke arah Bu Arik. Wanita berkaca mata itu melemparkan seulas senyum ke arahku sembari memberikan kertas dengan angka 88 yang tertulis besar-besar menggunakan spidol warna hitam.
"Bagus, Eva, pertahankan ya," kata Bu Arik, dia mengatakannya seolah dia tengah berbincang dengan seorang anak kecil.
Aku tak mengatakan apapun, hanya ikut mengulas senyum sebelum akhirnya berbalik pergi dan kembali duduk di kursiku.
"Lo dapet berapa?" Rega bertanya, dia adalah cowok yang duduk tepat di belakangku, seorang cowok pembuat onar yang membuat para guru mengelus dada.
Aku memutar badanku untuk dapat berhadapan dengan cowok itu. "Delapan puluh delapan," jawabku, "lo?"
Rega tersenyum dengan sangat lebar, berhasil menampakkan deretan gigi putihnya. Aku mengangkat satu alisku, bingung dengan reaksi yang cowok itu berikan.
"Gue dapet sembilan puluh empat," jawab Rega, aku bisa mendengar rasa bangga yang terselip dari kalimat yang baru ia ucapkan.
Mataku menbulat sempurna, terkejut dengan jawaban yang Rega berikan. "Bohong!" itulah kata yang langsung aku ucapkan dengan lantang.
Maksudku, Rega tidak mungkin mendapatkan nilai sembilan puluh empat, bukan? Aku tidak pernah melihatnya belajar, tasnya ringan tanpa tumpukan buku, setiap pelajaran dia hanya bermain ponsel atau bahkan membuat sebuah alasan agar bisa keluar kelas. Cowok semacam dia tidak mungkin mendapatkan sembilan puluh empat, bukan?
Ah, mungkin dia jenius.
Hmm ... mungkin? Aku tidak tahu, hal semacam itu mungkin bisa saja terjadi.
"Nggak percaya?" Rega bertanya, menantang.
Dengan otomatis, aku mengangguk cepat.
Rega tersenyum miring seraya memberikanku secarik kertas yang segera kuterima. Kupandangi kertas tersebut, memperhatikannya dengan saksama.
94.
Itulah angka yang tertulis besar-besar di sana.
Mataku memandangi angka tersebut secara terus menerus, berpikir bahwa mungkin mataku sedang menipu dan angka di sana akan berubah menjadi lebih kecil.
Tapi hal semacam itu tak kunjung terjadi.
Rega Si Pembuat Onar memang mendapatkan nilai sembilan puluh empat. Enam angka lebih besar dibanding nilai yang kudapat.
-
"Ini nilai sejarah kamu?" mama bertanya, ia memandangku sejenak sebelum tatapannya kembali jatuh ke arah kertas di tangannya. "Delapan puluh delapan?"
"Hmm ... iya, Ma."
"Ini nilai paling tinggi di kelas?"
Aku menggeleng, "ada yang dapet sembilan puluh delapan."
Setelah kupikir bahwa Rega adalah orang yang mendapatkan nilai paling tinggi di ulangan sejarah, aku menemukan fakta bahwa ternyata ada yang mendapat nilai lebih tinggi. Nilai itu didapatkan oleh Bima, cowok yang memang kulihat sangat rajin di kelas, dia selalu mendengarkan para guru dan mengerjakan tugas tepat waktu.
Mama memutar bola matanya, ia menaruh kertas ulangan sejarahku ke atas meja dengan kasar dan memandangku dengan tatapan tajam. "Nilai yang udah kamu dapatkan itu bagus, Eva, tapi kamu bisa mendapatkan yang lebih bagus dari angka delapan, di ulangan-ulangan selanjutnya, Mama pingin kamu dapet nilai sembilan. Jangan ngecewain Mama!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Musik (One Shots)
Short StoryKumpulan cerita pendek yang tertulis berdasarkan lagu-lagu yang saya dengar. Highest rank so far #141 in Short Story Collection of short stories by yossi novia since 2016 Some of my stories already publish on my personal blog : itskygirl...