Length : lebih kurang 900 words
Genre : fanfiction Ariana Grande
Ini adalah sebuah pagi yang begitu menangkan dengan temperatur hangat dan suara cicitan burung di luar sana. Mungkin terdengar sangat menyenangkan jika aku pergi ke luar dan menikmati udara pagi ini dengan berkeliling, namun aku tidak melakukannya, hanya tidur di atas tempat tidurku, memandangi sosok laki-laki yang kini tertidur di sampingku. Matanya terpejam, helaian rambutnya berantakan namun terlihat begitu indah.Seolah tahu bahwa dia menjadi objek pengamatanku, matanya mulai mengerjap sebelum akhirnya benar-benar terbuka lebar. Bibirnya secara perlahan melengkungkan senyuman, membuatku tidak bisa melakukan apapun selain membalasnya.
"Morning," sapanya dengan suara paraunya yang berat.
"Morning," jawabku, memandangi matanya yang mengerjap.
"Kurasa secangkir kopi di pagi hari terdengar menyenangkan," katanya membuatku mendengus.
"Tapi aku malas pergi dari tempat ini."
"Begitu pula aku."
"Bagaimana jika kita terus di sini?"
"Itu terdengar jauh lebih menyenangkan."
Kami bertukar sebuah senyuman manis sebelum mendekatkan diri satu sama lain. Kehangatan yang kami rasakan pagi ini semakin terasa dengan kulit tubuh kami yang saling bersentuhan. Aku merapatkan telingaku pada dadanya, mendengar bagaimana jantungnya berdentum secara teratur.
Aku tersenyum. Sangat menikmati setiap detiknya.
-
Pindah serumah bersamanya adalah sebuah keputusan terbesar yang pernah kulakukan. Itu seperti menulis sebuah komitmen yang lebih besar dari pada hanya menjadi kekasih satu sama lain. Dan pastinya akan banyak hal yang terjadi.
Dan ternyata dugaanku benar, kami mengalami banyak hal. Mulai dari pertengkaran yang jauh lebih sering dan kedekatan kami saat ini jauh lebih intens.
Siang ini kami memutuskan untuk pergi membeli beberapa kebutuhan di salah satu supermarket. Segalanya terasa sangat baik dengan tangannya yang melingkar di pundakku. Kami terus berjalan sambil sesekali melempar lelucon yang membuat kami berdua sontak tertawa bersama.
"Menurutmu kita harus membeli yang mana? Yang ini atau yang ini," kataku, menunjukkan dua kaleng selai nutella ke hadapannya.
Dia tertawa kecil dan mendorong kepalaku pelan secara main-main. "Aku tidak melihat perbedaannya."
"Bukankah perbedaannya sangat terlihat?"
Dia terkekeh sambil menggeleng-geleng kemudian mencubit hidungku. "Tidak ada bedanya, babe, taruh salah satu selai itu ke dalam troli dan taruh yang lain ke tempatnya semula!"
Aku mencebikkan bibirku. "Ini berbeda dan aku bingung harus memilih yang mana, bantu aku!"
Dia mendengus kemudian mengambil selai nutella di tangan kananku dan menaruhnya ke troli. Aku tersenyum lebar, nyaris terkekeh saat dia berjalan lebih dulu ke depan.
Aku akan mengemabalikan satu kaleng nutella yang lain saat seseorang berkata dengan suaranya yang pelan. "Permisi?"
Saat menoleh, aku menemukan sosok laki-laki dengan sebuah kaos putih dan celana skinny jeans. Dia nampak sangat tampan dengan rambutnya yang sedikit berantakan, mata biru, dan sebuah senyum di bibirnya yang kecil. Aku bisa merasakan bahwa dia adalah idola banyak gadis.
"Ya?" jawabku, memakan waktu cukup lama karena lebih dulu mengagumi keindahan wajahnya.
"Nutella itu, bisakah itu untukku?"
Dengan kikuk, aku memberikan nutella itu padanya. Dia menerima kaleng nutella tersebut dengan senyumnya yang melebar, membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
Laki-laki itu tadi kemudian berbalik, pergi ke tempat lain. Setelah sosoknya menghilang di balik banyaknya rak barang, aku mengembalikan tubuhku dan mendapati dia menatapku tajam. Ketika aku bilang tajam, maksudku, sangat tajam.
"Apa itu tadi?" tanyanya, suaranya sangat dingin membuatku sedikit terintimidasi.
"Seorang laki-laki yang membutuhkan nutella," jawabku sekenannya.
"Serius? Kau pikir aku tidak tahu niat terselubungnya? Hei, lihat semua ini! Ada banyak nutella di sini dan dia memintanya darimu?
"Hei, sudahlah!"
"Dan lihat dirimu! Kau tersenyum seperti itu! Kau senang?!" dia berkata, kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. Beberapa orang di dekat kami menoleh penasaran.
"Sudahlah! Banyak orang yang melihat kita."
"Lalu kenapa jika banyak orang yang melihat kita? Kau malu, huh?"
"Tidak bisakah kita membahas ini nanti saja?!"
Kurasa aku mempertanyakan hal yang salah. Sebelum dia akhirnya semakin marah, aku segera menariknya menuju kasir. Sebenarnya ada banyak yang belum kubeli, namun kurasa untuk saat ini akan lebih baik jika kami pergi.
Ini sering terjadi. Kami sering bertengkar untuk hal-hal konyol ataupun hal-hal yang memang serius. Entah berapa kali kami bertengkar di depan umum seperti tadi, dan entah berapa kali kami berteriak pada satu sama lain.
Ini melelahkan, sungguh, teman-teman dekatku juga mengatakan bahwa kemungkinan besar hubungan kami tidak akan berjalan dengan baik. Sebuah pertengkaran memang perlu, namun dengan banyaknya pertengkaran yang kami lalui, kurasa itu semua terlalu banyak dan hal yang terlalu banyak bukanlah hal yang baik.
Namun aku mendapati diriku sendiri semakin jatuh dan semakin jatuh padanya. Seolah segara teriakan itu bukanlah suatu hal yang penting.
-
Dia menurunkanku ke rumah bersama beberapa tas plastik yang berisi barang belanjaan kami sebelum akhirnya pergi begitu saja. Kurasa dia pergi ke rumah salah satu temannya atau hanya berjalan-jalan.
Mencoba membunuh waktu sembari menunggunya, aku mulai merapikan barang belanjaan kami, membersihkan beberapa sudut di rumah, dan mencuci baju kami.
Siang mulai beranjak malam, semua pekerjaanku selesai dan sekarang aku hanya duduk di depan televisi yang menayangkan sebuah tv series. Dia belum kunjung datang dan ini membuatku sedikit khawatir meski aku tahu bahwa dia pasti akan kembali, seperti pertengkaran yang sebelum-sebelumnya.
Tepat setelah aku memikirkannya, sebuah suara sepeda mobil yang terparkir terdegar membuatku segera melonjak dan pergi ke luar. Sesuai dugaanku, itu adalah mobilnya, dia keluar dari sana dengan gontai, kurasa dia mulai megantuk.
"Hei kau baik-baik saja?" tanyaku saat dia akan berjalan melewatiku yang berdiri di ambang pintu.
"Ya. Hanya sedikit mengantuk. Dengar, aku minta maaf soal yang tadi."
Aku tersenyum, mendengarnya meminta maaf menghadirkan sesuatu tersendiri dalam hatiku. "Aku ... aku juga minta maaf."
"Jadi, kita baik-baik saja sekarang?"
Aku tersenyum geli sambil mengangguk. Dia kemudian melingkarkan tangannya pada pundakku dan membawaku masuk ke dalam rumah.
"Aku sudah mengantuk, ayo kita tidur!"
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Musik (One Shots)
Historia CortaKumpulan cerita pendek yang tertulis berdasarkan lagu-lagu yang saya dengar. Highest rank so far #141 in Short Story Collection of short stories by yossi novia since 2016 Some of my stories already publish on my personal blog : itskygirl...