Genre : fanfiction Eleanor-Louis
Length : 939 words"But I say they don't know what they talk talk talkin' about,"--They Don't Know About Us by One Direction
"They don't know about the things we do. They don't know about the I love you's,"--They Don't Know About Us by One Direction
"Hidup ini penuh dengan rintangan," kata kakekku saat aku masih kecil. Aku tidak tahu apa maksudnya pada awalnya karena kurasa, semuanya berjalan baik-baik saja. Aku bermain, aku tertawa, kalaupun menangis itu hanya karena rebutan main ataupun hal kecil lainnya yang dengan cepat terhapus dari pikiranku.
Waktu berjalan begitu cepat, jauh lebih cepat dari kereta api di Jepang. Eleanor kecil yang hobi bermain Barbie dan berharap bisa bertemu dengan Ken yang sesungguhnya kini telah tumbuh menjadi seorang gadis. Dan di tengah pikiranku yang mulai bertambah dewasa, aku mulai paham dengan ucapan kakek.
Saat ini aku sadar, kakek benar tentang hidup penuh dengan rintangan. Untuk menghirup oksigen memang tidak membayar, tapi kurasa, untuk bahagia dengan rasa cinta harus dibayar dengan banyak hal.
Aku tidak sedang mencoba menjadi orang yang puitis dengan bumbu berupa majas hiperbola di dalamnya. Sama sekali tidak. Aku hanya sedang mencoba mengatakan apa yang memang saat ini aku rasakan.
Aku mengusap air mataku yang sudah mengintip turun. Membaca segala tweet dan komentar di instagram-ku sangatlah menyakitkan. Kata Louis, aku tidak seharusnya melihatnya, namun aku mudah penasaran tentang banyak hal dan selain itu aku punya mata yang dengan baik mampu menangkap aksara apa yang tertera di sana.
Melihat semua cacian yang mereka berikan dan semua tuduhan yang mereka alamatkan padaku sangatlah membuat dadaku sesak. Rasanya seolah sesuatu seperti truk menghantam dadaku dengan telak. Sesuatu dalam perutku juga terperas hebat.
Air mataku tumpah pada akhirnya setelah membaca lebih banyak hinaan, aku segera menutup twitter dan instagram yang kubuka melalui laptop, menaruh laptopku di atas meja belajar, kemudian membawa tanganku untuk menutupi wajahku. Aku menangis dengan keras seolah ini adalah tangis terakhirku meski aku yakin besok aku akan kembali menangis jika melihat semua itu kembali.
Aku benci dengan diriku! Aku benci diriku yang lemah! Karena semua itu kini aku mudah sekali memecahkan tangisan, membuat dadaku semakin sesak, dan membuatku merasa aku memang benar-benar tak pantas hidup.
Ada hal yang lebih aku benci tentang semua ini. Fakta bahwa aku adalah kekasih Louis Tomlinson, salah seorang member One Direction. Aku benci aku yang mencintainya! Jika saja aku tidak mencintainya, jika aku mampu meneguhkan diriku untuk menolaknya, semuanya tidak akan berakhir seperti ini.
Aku mengangkat kepalaku ketika mendengar suara derit pintu. Louis sudah beranjak masuk, ia nampak menaruh pandangannya pada ponsel sedangkan kakinya semakin masuk ke dalam kamarku. Buru-buru aku mengusap wajahku, tidak ingin dia tahu sisa-sisa tangisku, kemudian memasang senyum palsu yang lebar.
Louis menekan kembali ponsel pintarnya sebelum menaruh benda itu di atas meja belajarku yang berada di samping kasur. Ia tersenyum kemudian bergabung denganku duduk di atas kasur dan menyender pada dinding.
"Maaf baru datang, ada banyak hal yang harus kudiskusikan," kata Louis, ia membawa tangannya untuk merangkulku.
Aku tersenyum sambil menunduk. "Tidak masalah. Aku tahu kesibukanmu."
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Louis yang sontak membuatku mendongak, pemuda itu menatapku dengan mata birunya yang meneduhkan dan senyum lebarnya secara perlahan terjatuh begitu saja.
"Aku baik-baik saja," kataku, memaksa agar senyumku semakin melebar.
"Kau bukan pembohong hebat, babe," kata Louis, ia kemudian mengangkat tangannya yang bebas dan mencubit ujung hidungku dengan jemarinya. "Sekarang, katakan padaku."
Aku berdebat dengan diriku sendiri, antara mengatakannya pada Louis atau tidak. Mataku tak berani menatap matanya dan karena itu, kini aku memperhatikan jemari tanganku yang saling bertaut penuh kegelisahan.
"Katakan saja," bisik Louis di telingaku sebelum mencium puncak kepalaku.
"Ini tentang penggemarmu. Aku membaca tweet yang mereka kirimkan dan beberapa komentar di foto instagram-ku. Mereka ... mereka...," aku akhirnya berkata namun tak mampu menyelesaikannya karena air mataku kembali turun dengan deras membentuk anakan sungai di atas pipiku. Aku segera menghapusnya kembali, benci menjadi selemah ini.
"Hey, bukankah sudah kukatakan untuk tidak peduli pada mereka?"
"Mereka itu penggemarmu, Louis! Penggema! Aku tidak bisa tidak peduli pada mereka."
"Jangan bukan twitter dan instagram kalau begitu."
"Ini ... ini tentang rasa penasaranku, Louis."
Louis melepaskan rangkulannya, ia memperbaiki posisi duduknya menjadi sepenuhnya berhadapan denganku. Tangannya yang hangat membungkus tanganku yang lebih mungil, aku merasakan suatu aliran yang membuat kebun binatang pindah ke perutku sekaligus aliran ketenangan. Louis menatapku, membuatku hanyut pada birunya kedua bola mata itu.
"Baiklah, aku mengerti," bisik Louis, "Aku tidak akan memaksamu untuk tidak membuka media sosial. Tapi, Eleanor, kita semua tahu apa yang mereka katakan tentangmu tidak benar. Kau adalah apapun kecuali jalang. Kau adalah wanita yang paling spesial dalam hidupku selama ini, selain mum dan saudari-saudariku. Kau adalah wanita yang kucintai, dan itulah yang paling penting di antara semuanya. Mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka tidak tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu. Biarkan mereka berkata apapun, karena kita semua tahu, apa yang mereka katakan tidaklah benar. Lagipula, kita hidup untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain."
Aku tersenyum. Ucapan Louis begitu manis dan menyentuh tepat pada hatiku.
Louis adalah lelaki yang sangat sempurna, aku tidak heran banyak gadis di luar sana yang tergila-gila padanya dan ingin berada di posisiku--posisi sebagai kekasihnya. Namun, sejujurnya, kesempurnaanya membuatku takut. Aku takut jika dia hanyalah imajinasiku atau hanyalah bagian dari mimpiku.
Seolah tahu ketakutanku, Louis menunduk dan memberikan satu kecupan pada bibirku. Singkat, memang, tapi aku tahu itu sangat berarti. Dan dengan satu kecupan itu, aku percaya, dia memang nyata.
"Mereka tidak tahu tentang kita. Mereka tidak tahu bagaimana kau yang sebenarnya. Mereka tidak bisa mengira sedalam apa cintaku padamu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, oke? Mereka itu hanya cemburu. Itu saja," kata Louis, ia memberikan sebuah senyuman yang membuatku ikut tersenyum. Senyumnya menenangkan dan membuatku melupakan truk yang tadi menghantam dadaku telak.
Dan, untuk mengakhiri semua ucapan manisnya, ia memelukku begitu erat seolah takut kehilanganku, seolah dia hidup dengan aku sebagai penumpunya.
"Eleanor, kau sudah mandi 'kan?"
Ugh, Louis! Cara yang baik untuk menghancurkan suasana!
"Cause this love is only getting stronger,"--They Don't Know About Us
=====
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Musik (One Shots)
Historia CortaKumpulan cerita pendek yang tertulis berdasarkan lagu-lagu yang saya dengar. Highest rank so far #141 in Short Story Collection of short stories by yossi novia since 2016 Some of my stories already publish on my personal blog : itskygirl...