(Lirik nanti dulu)
Hari ini hari Minggu. Mum libur dari pekerjaannya dan menjadi Mom yang cerewet, aku tidak bisa duduk di depan televisi, mendengarkan musik bahkan membaca buku dengan tenang, selalu saja suara Mum terdengar, jika dia membicarakan sesuatu yang menyenangkan mungkin itu bukanlah masalah besar, hanya saja yang keluar dari mulut Mum hanyalah ocehan menyebalkan yang membuatku benar-benar ingin melepas telingga--well, jika saja itu benar-benar bisa terjadi.
Aku memutuskan bahwa tinggal di rumah lebih dari lima menit lagi aku akan menjadi gila, maka aku keluar rumah dan menikmati udara segar London di bulan Juni yang terik. Sambil melangkahkan kakiku, telingaku tersumpal oleh sesuatu bernama earphone yang memperdengarkan musik menyenangkan dan seketika hal-hal menyebalkan seperti ocehan Mom menguap dan terbang bersama angin panas.
"Hei ayolah! Tunjukan senyummu, Eleanor! Kau harus lebih cerah dari matahari!" Louis berkata sambil berjalan ke belakang seolah dia tidak akan menabrak apapun tanpa menoleh ke belekang.
Aku semakin memasamkan wajahku. "Matahari itu panas, Louis!"
Louis berdecak. "Ayolah! Senyum! Senyum! Senyum!"
Kini giliranku yang berdecak. "Berjalan dengan benar Louis! Kau bisa menabrak nenek-nenek yang tengah memilih bunga."
"Aku tidak akan berjalan dengan benar jika kau tidak tersenyum."
Aku tidak menjawab ucapan Louis dan memutar bola mataku. Terseralah, aku sudah tidak peduli.
Untuk menunjukkan ketidakpedulianku, aku menatap ke arah lain yang bukan wajah menyebalkan Louis. Uh, bahkan mobil-mobil yang berlalu-lalang nampak lebih menyenangkan daripada wajah Louis.
"Hei, Eleanor!"
Aku diam. Tidak peduli.
"Eleanor!"
Brakkk!!!....
Mendengar suara gedebum keras aku sontak menoleh dan menemukan sosok Louis baru saja menjatuhkan tong sampah yang diletakkan di trotoar dan dia jatuh bersamanya. Sekalipun aku tidak peduli dengan makhluk ajaib ini, aku tertawa keras, lebih keras dibanding sekumpulan remaja yang menikmati es krim.
Aku memasuki kedai es krim. Di liburan musim panas seperti ini, es krim seolah menjadi menu ter-favorite, hal ini membuat kedai menjadi sangat ramai dan aku hampir tidak bisa melihat wajah para penjual dari tempatku berdiri.
Biasanya, melihat antrean yang panjang aku akan pergi dengan cepat karena antrean yang mirip ular itu akan membuat kepalaku sakit, namun sekarang sebuah kekuatan seolah memerintahkanku untuk diam di tempat. Dan di sinilah aku sekarang, berdiri di belakang sepasang kekasih yang terlihat ingin memakan wajah satu sama lain saat ini juga, menunggu giliran mendapatkan es krim yang terasa menggoda.
"Louis antreannya panjang sekali!" aku merengek dan Louis justru tertawa seolah itu hal yang paling lucu sedunia.
"Kau berlebihan, Ele! Nyatanya hanya ada lima orang yang mengantre, tidak sepanjang itu," jawab Louis, dia menunjuk lima orang yang berdiri memanjang.
"Tetap saja! Mereka pasti mendapatkan titipan dari teman mereka dan kita berakhir menunggu lama karena penjualnya sangat lama dalam melayani para pembeli," jawabku dengan yakin.
"Baiklah, sekarang akan kutunjukkan kedai es krim yang enak namun tidak antre."
"Memang ada yang seperti itu?"
"Untukmu, aku akan mencarikannya," kata Louis, dia menunjukkan senyum sialan-memikatnya sambil mengedipkan matanya.
Louis tertawa keras, mungkin dia melihat rona merah yang dengan kurang ajarnya muncul begitu saja.
"Terima kasih," kataku saat es krim yang kuidam-idamkan sudah sampai di tanganku.
Dengan senang aku mulai menjilati es krimnya sambil tetap berjalan. Aku tidak tahu pasti ke mana kakiku akan melangkah tapi yang pasti aku tidak akan kembali ke rumah dan kembali mendengarkan ocehan Mum yang seolah tak berujung.
"Harry! Holly shit!"
Meski bukan namaku yang terpanggil, aku menoleh dan menemukan sosok laki-laki berambut keriting yang tidak lagi asing. Laki-laki itu berlari sambil tertawa di belakang seorang laki-laki lain berlari, wajahnya nampak kesal.
Aku akan menjadi seorang pembohong besar jika berkata aku tidak terkejut. Atau tidak ada sesuatu yang berbeda di dalam hatiku.
"E-Eleanor, ini h-hanya salah p-paham," katanya, aku bisa melihat ia nampak panik.
"Salah paham? Jadi, melihatmu mencium gadis lain adalah sebuah kesalahpahaman?!"
Dia tidak berkata apapun dan itu sangat menyakitkan.
Hal yang paling menyakitkan adalah ketika kau harus bertemu lagi dengan mantan kekasihmu yang putus dengan tidak baik, berpura-pura tidak kenal dan berjalan melaluinya seolah tidak ada apapun yang terjadi.
Aku sudah akan pergi, namun seolah dunia tak lagi berada di pihakku, seseorang memanggilku dengan suara kelewat keras, "Eleanor!"
"Oh, hai, Harry!" aku menjawab sapaannya sambil memaksakan sebuah senyuman.
"Im so done with this shit! Im so done with you!" kataku, air mata mulai mengucur, membentuk anakan sungai di atas pipiku.
Dadaku rasanya sesak dan aku mungkin bisa pingsan jika memaksa untuk terus berdiri di tempat, maka aku berbalik pergi.
"Eleanor! Aku bisa menjelaskan semuanya! Tolong jangan seperti ini!" Louis berteriak dari belakang dan menggenggam erat pergelangan tanganku.
Aku menepis tangannya dengan kasar dan terus berjalan pergi, tak peduli sedikitpuj dengan suaranya yang berteriak memanggilku.
Dia masih sama seperti terakhir kali kulihat, tatapannya, caranya menata rambut, caranya berpakaian, semuanya masih sama.
"Kau mau ke mana?" tanya Harry dengan santai seolah dia tidak tahu jika ada dua mantan kekasih yang saling bertemu dan menciptakan suasana aneh.
"Hanya berjalan-jalan," jawabku singkat, demi menelan rasa canggung, aku menjilat es krimku.
"Eleanor! Kumohon, jangan seperti ini! Beri aku kesempat menjelaskan, menjalin hubungan lagi bersamamu!" Louis kembali mengejarku dan menarik tanganku.
Aku memutar bola mataku dan kembali melepaska pegangannya. Shit, ini seperti drama dan jujur saja aku membenci semua ini.
"Aku tidak bisa, Louis, dan mohon mengertilah."
Dengan itu aku berjalan keluar dari apartement-nya, melupakan segala kenangan di antara kami, dan membuat janji untuk menjalankan kehidupan baru tanpanya dengan baik.
"Apa kau sendirian? Seharusnya gadis sepertimu tidak berjalan-jalan sendirian," kata Harry, dia mengulas sebuah senyuman 'aneh' yang sudah lama tak kulihat.
Aku tertawa. "Ya, aku sendirian, tapi aku sudah menelpon temanku. Seharusnya dia sebentar lagi datang."
Aku tidak bohong, sebenarnya aku sudah menelpon salah seorang temanku sejak aku keluar dari kedai es krim tadi. Rasanya aneh berjalan-jalan mengitari kota tanpa seorang teman.
Beberapa detik setelah aku berucap, aku merasa seserang menepuk pundakku. Aku menoleh dan tersenyum begitu menemukan Max di sana.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Musik (One Shots)
Historia CortaKumpulan cerita pendek yang tertulis berdasarkan lagu-lagu yang saya dengar. Highest rank so far #141 in Short Story Collection of short stories by yossi novia since 2016 Some of my stories already publish on my personal blog : itskygirl...