Killa memandangi kantong teh celup di tangannya, terhitung sudah lima belas menit ia hanya diam dan memandangi benda mati tersebut.
Sebuah argumen sengit tengah terjadi di dalam kepalanya hingga ia pikir sebentar lagi organ tubuhnya yang satu itu akan segera meledak.
Ia mungkin tak akan pernah beranjak dari tempatnya duduk dan menghentikan argumen aneh yang tengah terjadi jika saja pintu kamarnya tak terbuka dan menampakkan sosok ibunya yang nampak rapi dengan gaun putih serta sepatu hak tinggi hitam.
“Hey, Bu!” Killa berucap, masih dengan keterkejutan luar biasa dalam dirinya. Jika ada satu hal yang tidak pernah ibu Killa lakukan selama ini, maka itu adalah menyambangi anaknya di dalam kamar, sehingga tentu saja ia akan merasa terkejut saat menemukan ibunya berdiri di ambang pintu dengan matanya yang memperhatikan tiap inchi kamar yang sudah Killa tempati sejak ia masih berumur lima tahun.
“Kamu nggak bikin video?” tanya Anisa—ibu Killa—setelah beberapa detik lamanya hanya terdiam.
Killa menggeleng. “nggak, ak—“
“Bagus kalau begitu, bikin video itu cuma menghabiskan waktu, kamu seharusnya fokus terhadap studimu, seperti kakakmu,” kata Anisa, serta merta memotong ucapan Killa.
Seperti kakakmu.
Dua kata itu acap kali ibunya lontarkan saat merasa Killa tengah melakukan hal buruk. Saat frasa itu keluar dari mulut ibunya untuk pertama kali, Killa merasa sebuah pedang tak kasat mata telah menusuk perutnya, namun sekarang, perasaan itu tak pernah muncul lagi. Ia sudah terbiasa.
“Lagi pula, berapa yang menonton videomu? Cuma sedikit ‘kan?”
Meski Killa tahu bahwa ibunya akan mengatakan hal buruk mengenai apa yang ia lakukan, sebuah perasaan sakit menghantam dirinya tanpa ampun. Killa tidak pernah dapat terbiasa dengan orang-orang yang mengatakan betapa masih jauhnya dia sebagai seorang YouTubers terkenal, ia tahu bahwa hal itu adalah fakta, namun saat orang lain memaparkannya secara gamblang, ia akan merasa gagal.
Tak memiliki ide mengenai apa yang hendak ia katakan, Killa memilih diam, matanya memandang ke arah kasurnya yang nampak berantakan, berusaha keras untuk tidak melirik ke arah ibunya karena dia tahu, sangat tahu bahkan, bahwa sebuah senyum miring tengah tergambar manis di atas wajah wanita yang melahirkannya itu.
“Kalau gitu ibu pergi dulu ya,” kata Anisa, ia beranjak pergi dari tempatnya berdiri sembari menutup pintu kayu yang menjadi satu-satunya akses masuk ke dalam kamar anaknya.
Killa menghela napas, merasa lega ibunya tak lagi menghirup oksigen di ruangan yang sama. Hal yang kini mengisi kepalanya adalah cara untuk menunjukkan kepada ibunya bahwa wanita itu salah, ia ingin menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan saat ini bukanlah hal sia-sia dan bahwa ia mampu untuk menjadi terkenal.
Mata Killa kembali tertuju pada kantong teh celup di tangannya, sebuah benda yang ia dapatkan dari cowok aneh yang tetiba mendatanginya saat ia tengah menunggu jemputan, mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi teh itu, ia akan memiliki kesempatan untuk menjadi terkenal.
Killa mungkin sudah gila dengan mempercayai cowok asing itu, namun apa salahnya untuk mencoba, bukan?
***
“Setelah minum, kamu harus bikin video dan mengunggahnya ke YouTube, atau kamu juga bisa mengunggah foto ke Instagram,” Killa ingat, itulah instruksi yang diberiikan oleh cowok aneh pemberi kantung teh celup .
Maka, itulah yang Killa lakukan. Setelah menikmati teh celup yang ternyata terasa sangat enak dan pas seperti seleranya, Killa buru-buru mengeluarkan benda-benda yang biasa ia gunakan untuk membuat video. Cewek bersurai hitam panjang itu tak berencana membuat video hari itu, sehingga ia tak memiliki ide mengenai video apa yang harus ia buat sampai akhirnya ia memutuskan untuk hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang acap kali dilemparkan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Musik (One Shots)
Short StoryKumpulan cerita pendek yang tertulis berdasarkan lagu-lagu yang saya dengar. Highest rank so far #141 in Short Story Collection of short stories by yossi novia since 2016 Some of my stories already publish on my personal blog : itskygirl...