[x] From a Thief

57 2 0
                                    

A letter from Luke Davis for whoever read this

Hello! Luke Davis di sini! Ketika kau membaca ini mungkin tubuhku sudah ditemukan mengambang di sungai yang jaraknya sekitar lima puluh langkah dari rumahku dulu. Terdengar klise memang, sebuah surat yang ditulis oleh seseorang sebelum nyawanya ditarik pergi, tapi untuk sekarang aku tak peduli pada apa yang kau pikirkan mengenaiku. Maksudku, aku sudah mati, apapun pendapat kalian tak akan membuat aku kembali hidup atau kehidupan kematianku menjadi sangat menyedihkan.

Tidak.

Duniaku sudah berbeda dengan kalian. Apapun yang kalian pikirkan mengenaiku sama sekali tak akan berpengaruh. Sedikitpun tidak.

Beberapa dari kalian yang benar-benar mengenalku--tak hanya tahu 'oh, Luke Davis si cowok dengan rambut merah aneh itu'--mungkin mulai paham dengan jelas mengapa aku memilih mengakhiri hidup. Beberapa dari kalian mungkin mulai menyebar rumor-rumor aneh mengenai kematianku--mungkin sesuatu seperti 'Luke Davis sebenarnya hanya mencari perhatian, malangnya dia berakhir benar-benar meninggal--dan beberapa di antara kalian yang lainnya akan mempercayai rumor-rumor itu seaneh apapun kedengarannya.

Aku benci untuk mengatakan ini sebenarnya, tapi tidak, aku tidak mati karena butuh perhatian, siapa pula yang membutuhkan semua itu dari dunia menyedihkan ini? Tentu bukan aku orangnya.

Ini sangat personal. Tak seharusnya aku menuliskan surat mengenai mengapa aku meninggal. Aku bahkan harus berdebat dengan diriku sendiri untuk memutuskan apakah menulis ini adalah sebuah perbuatan bijak atau tidak, tapi aku tetap menulis surat omong-omong--karena kalau tidak bagaimana caranya kau bisa menemukan ini?

Sebelum kalian berpikir yang tidak-tidak, mari luruskan semua ini. Aku bercerita mengapa aku meninggal bukan untuk menghentikan rumor yang menyebar mengenaiku--aku yakin seratus persen tak akan ada yang bisa menghentikan rumor, bahkan Ratu Inggris sekalipun, rumor selalu ada walaupun kalian menyangkalnya--aku hanya ingin mengeluarkan perasaanku dalam bentuk aksara. Aku pernah mendengar bahwa menulis mengenai apa yang kita rasakan dapat membuat kita menjadi merasa lebih lega, terutama untuk yang tak memiliki teman pendengar semacam aku.

Jadi, aku menulis surat ini.

Semua dimulai semenjak polisi-polisi datang ke rumahku dengan kendaraan mereka yang mengeluarkan suara bising dan pistol yang mereka todongkan. Aku ingat, kala itu yang pertama kali menyadari kehadiran para polisi adalah adikku yang berumur sepuluh tahun, dia langsung terkena serangan panik luar biasa dan detik selanjutnya, kau sudah temukan tubuhnya terjatuh ke atas lantai dan tak sadarkan diri.

Ayah dituduh sebagai seorang pembunuh dari anak orang kaya yang memiliki saham besar dari sebuah perusahaan yang sangat besar--aku tak ingat siapa namanya, tidak penting--selain itu dia juga dituduh telah melakukan penggelepan uang. Tanpa ba-bi-bu polisi membawanya ke penjara, beberapa hari kemudian dilakukan persidangan dan rupanya ayah berakhir mendapatkan hukuman seumur hidup.

Ayah dihukum. Harta dirampas. Ibu menangis hampir setiap menit. Adikku terus menerus terkena serangan panik. Dan seolah ingin membuatnya semakin parah, teman-temanku mulai menindasku.

"Kau pasti juga pencuri, iya 'kan? Ah, jadi ternyata selama ini keluargamu keluarga pencuri? Tak kusangka selama ini aku berteman denganmu," itulah yang James katakan, dulu kami sangat dekat pasalnya cowok itu terus menempel padaku. Aku bisa saja tertawa saat itu juga ketika mengingat betapa dulu dia sangat ingin dekat denganku, tapi aku melihat wajahnya, dia terlihat bisa membunuhku kapanpun juga, lantas akhirnya aku memilih untuk terdiam. Tentunya diam bukan berarti aku kalah, aku hanya tak ingin menambah drama dalam kehidupanku.

Satu per satu orang pergi keluar dari hidupku.

Satu per satu orang mulai menganggap mereka tak pernah tahu siapa itu Luke Davis.

Satu per satu orang melemparkan tatapan jijiknya padaku.

Satu per satu orang mengawasiku seksama saat aku memasuki pusat perbelanjaan.

Satu per satu orang memberiku pukulan luar biasa--yang mereka anggap sangatlah keren padahal tidak sama sekali.

Aku ingin berteriak, "apa salahku?! Bukan aku yang mencuri uang itu! Bukan aku yang membunuh anak itu! Semua itu adalah perbuatan si bedebah yang menyumbangkan spermanya untuk kehidupku! Bukan aku! Aku dan ayahku berbeda, kami tak sama, jika ayahku berpikir bahwa bukanlah masalah besar untuk melayangkan nyawa seseorang atau untuk menggelapkan uang, maka aku tak pernah sedikitpun berpikir sedemikian, aku bahkan masih sangat takut melihat darah mengucur keluar dari tubuhku! Atau bahkan darah kucing!

"Kalian pernah dengar buah tak jatuh dari pohonnya?" Oh, betapa aku ingin membunuh siapapun yang berkata demikian! Ayahku dan aku jauh berbeda! Aku bukan ayahku! Aku bukan Luke Davis yang mirip seperti Jack Davis. Aku adalah aku. Ayahku adalah ayahku. Kami dua insan yang berbeda, yang memiliki dua kepribadian berbeda, tentu beberapa bentuk fisikku mirip dengannya tapi kami berbeda!"

Aku ingin berteriak di hadapan manusia seluruh dunia agar mereka tahu bahwa aku dan ayahku memang berbeda. Tapi aku tak pernah memiliki kesempatan seperti itu. Ucapanku hanyalah lelucon bagi mereka, teriakanku hanyalah cicitan bagi mereka, dan lagipula, sebesar apapun keinginanku untuk merubah cara berpikir seseorang, aku tak akan pernah berhasil melakukannya. Kecuali jika dia memang ingin merubah cara pandangnya terhadap sesuatu--yang mana, aku sendiri tidak yakin dapat mereka lakukan.

Tapi aku sudah lelah.

Aku sudah lelah berjalan diikuti tatapan jijik dari semua orang.

Aku sudah lelah diawasi secara ketat saat ada di sekitat pusat perbelanjaan.

Aku sudah lelah mendapatkan tinjuan.

Aku sudah lelah mendengar komentar seseorang.

Mereka bilang, "kau tak perlu mendengar apa yang orang lain katakan tentang dirimu," tapi bagaimana aku bisa melakukannya? Maksudku, aku memiliki telinga, aku memiliki otak yang mampu memproses apa yang sebenarnya mereka bicarakan, dan yang paling penting dari semuanya, aku memiliki hati. Aku memiliki perasaan. Dan kau masih mengharapkan aku membiarkan orang lain membicarakan hal bodoh mengenaiku tanpa merasa buruk?

Aku lelah.

Lelah yang teramat sangat.

Mom mungkin melihatku sebagai sosok yang kuat karena aku selalu ada di sisinya saat ia menangis tanpa henti atau saat adikku terkena serangan panik secara mendadak. Tapi sejujurnya aku sudah lelah. Tidur tak membuat rasa lelah yang melingkupiku sirna, karena saat aku bangun, aku akan kembali dihujam oleh rasa sakit baik secara fisik maupun secara emosional.

Karena itu ... kenapa aku tidak mengakhir hidup saja? Mengakhiri hidup dengan cara yang membuatku merasa bebas dan itu adalah terjun dari jembatan menuju sungai yang memiliki arus deras.

Aku tidak akan membahas lebih lanjut mengenai bagaimana aku mati. Jadi, kurasa, sampai di sini saja suratku ini.

Semoga kalian semua melupakan si Bodoh ini.

Dengan rasa lelah yang teramat sangat,

Luke Davis--yang tidaklah sama dengan Jack Davis.

[-][-][-]

Waktu itu buku ini sempet punya buka sendiri, terus aku unpub, terus aku publish ke blog (masih ada sampe sekarang) dan aku publish ke sini lagi. Belum aku edit, maaf kalau ada typo.

Dialog Musik (One Shots)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang