Chapter 7. Furious Fire

50 6 3
                                    


"Aku bisa melawanmu bermain jika kau mau. Belum larut malam. Jika kau ingin menyegarkan pikiran..."

"Jangan menyuruhku membuka topeng jika aku kalah."

Kusiapkan papan permainan go di ruang baca. Dua stoples masing-masing berisi batu hitam saja dan batu putih saja kuletakkan di karpet. Assassin bersila di hadapanku. Seperti biasa dia makan malam sendirian, aku pun begitu. Assassin mengatakan dia sudah paham aturan permainannya, maka kami langsung memulainya. Aku memainkan hitam, dia putih. Hitam jalan duluan.

Kombinasi menarik rangkaian batu-batuan terbentuk di papan. Sesekali kami tertawa kecil saat ada grup yang bunuh diri atau dibunuh massal. Ada sesuatu yang aneh dengan main bersama, aku baru memahaminya. Itu adalah rasa keakraban yang tiba-tiba muncul, mencairkan ketegangan. Sejauh ini aku menganggap assassin hanya sebagai tamu agung yang kebetulan saja menginap di puriku, yang sesekali menyebalkan, namun juga bijaksana dan berpengetahuan luas. Namun hari ini setelah diskusi menarik soal paradoksnya dan dalam permainan go-nya, formalitas itu meleleh. Aku menikmati saat mengobrol dengannya sambil bermain.

Sejam kami bermain, batu hitam dan putih yang tertangkap sudah bertumpuk. Terasa cukup mudah bermain melawannya, karena aku seperti dapat membaca langkahnya berikutnya. Entah karena General Maximus sering menantangku bermain, atau assassin ini yang sesuai penuturannya jarang bermain go. Kami mengakhiri permainan di waktu yang ditetapkan. Assassin kalah. Aku tertawa gembira.

"Jangan menyuruhku membuka topeng," dia bergumam.

"Um? Buat apa? Aku sudah mengalahkan seorang assassin dalam permainan go. Akhirnya ada bidang di mana kau tak mampu mengalahkan general Swargaloka." Aku meregangkan tubuh, bersiap beranjak tidur.

"Aku sudah siap kalah kapan pun dia menantangku go."

"Sebaiknya begitu."

"Kau juga pasti akan memberitahu pacarmu bahwa permainanku payah."

"Dia bukan pacarku. Faktanya adalah General Amber membenciku juga karena cemburu. Dia sudah menaruh hati sejak lama pada General Maximus, namun sepertinya pria itu tak merasa. General Amber menganggapku sebagai penghalang."

"Kau, General Nara, memiliki hidup yang rumit."

"Makanya aku punya banyak dunia paralel," candaku.

"Karena banyak pilihan? Hm. Aku jadi berpikir apa yang terjadi sekarang jika manusia Bumi menerapkan probabilitas kuantum. Barangkali mereka tidak jadi punah, karena menyadari konsekuensi atas pilihan mereka."

"Kau memilih topik yang berat sebagai pengantar tidur."

"Maafkan aku. Selamat tidur kalau begitu, Nara."

"Selamat tidur, assassin. Aku menikmati obrolan dan permainan kita hari ini."

Dies IraeWhere stories live. Discover now