Chapter 9. Pyramid

41 6 0
                                    


NARA'S POV

Satu kata. Tersiksa. Seperti jarum-jarum halus yang mengalir sepanjang pembuluh darahku kecil maupun besar. Setiap organ di dalam tubuhku seperti meregang dan mengerut akibat tusukan-tusukannya. Apa yang dilancarkan assassin Jonathan merasuk ke dalam tubuhku. Jarum-jarum es terbawa aliran darah menusuk setiap organku. Aku sangat yakin jika terlalu lama di arena pertarungan, seluruh organ dalamku akan meledak akibat siksaan jarum es ini.


Petir bergemuruh di langit saat titik-titik air hujan mulai jatuh ke tanah, menimpa wajahku seperti jarum-jarum bertekanan tinggi. Pertarungan yang harusnya sebagai ucapan terima kasih malah menjadi hukuman mati yang menyakitkanku. Tertatih-tatih aku meraba-raba jalanku masuk ke piramida kristal. Pintu otomatisnya menggeser terbuka, lalu aku melemparkan diri ke lantai pualamnya yang dingin. Aku tidak tahu apakah masih cukup banyak waktu sekaligus energi tersisa untuk memulihkan diri.


Bersila pun aku tak mampu. Aku hanya bersandar di dinding kristalnya. Kulayangkan pandangan keluar, assassin mengibas-ngibaskan kepalanya, sepertinya ia baru saja sadar dari pingsannya. Dia bangun dan berdiri dengan kakinya, lalu berlari menuju piramida kristal. Tidak! Tidak tidak tidak!


"General Nara!" Dia mengetuk-ngetuk pintu otomatis. Aku menguncinya dari dalam, dia tidak boleh masuk dalam keadaan seperti ini.


"General, izinkan aku masuk! Aku bisa membantumu!" Suaranya terdengar panik.


"Ja-jangan...kau ti-tidak boleh masuk jika bertopeng..."


"Kau masih berkeras soal itu di saat seperti ini?" Dia meninju pintu kristal dengan buku-buku jarinya. Kentara sekali dia panik telah menyerangku seperti itu. Jari-jarinya menyisiri rambut hitamnya dengan gugup.


"Di piramida kristal, semuanya...semuanya harus dengan hati yang murni...tidak – tidak boleh...bermuslihat....aaah" Dorongan yang sangat kuat menerjang dari pusat tubuhku. Aku memuntahkan darah segar. Gaun putihku berlumuran merah di dada dan roknya.


"Nara! Aku bisa membantumu! Kumohon!"


Aku menggeleng lemah. Semakin lama kami berdebat, semakin sedikit waktu yang tersisa bagiku. Semakin lemah energiku. "Topeng..." Itu keputusan finalku.


Aku memejamkan mata, bersiap dengan metode memulihkan diri sendiri, entah apa hasilnya. Kudengar suara ketukan lagi, kali ini suara assassin melemah, "Kau bisa melihatku...kumohon izinkan aku masuk."


Saat kepalaku menoleh ke arahnya, yang kulihat adalah seseorang yang berlutut di depan piramida kristal dengan kepala tertunduk dan tangan menempel di pintu otomatisnya. Kepala itu perlahan terangkat. Aku berharap menemukan wajah pualam putih yang biasa, namun aku salah. Di bawah garis rambutnya, ada kulit manusia. Lalu sepasang alis. Sepasang mata kelabu. Hidung yang tegas dan tajam. Bibir yang membentuk garis lembut. Rahang yang keras dan kuat.


Assassin Jonathan telah melepaskan topengnya.


***


Sisa nafasku tidak banyak. Antara bernafas panjang-panjang atau pendek megap-megap karena syok, aku memilih yang pertama sekalipun aku memang sedang terkejut. Dalam situasi normal apa pun selama enam bulan terakhir, tidak ada yang berhasil kucuri dari wajah tamuku ini. Kali ini, dia melepas topengnya secara sukarela agar kuizinkan masuk ke piramida kristal. Mungkin dia dapat menyelamatkan hidupku. Kutekan tombol buka dari dalam piramida, ia langsung merangsek masuk.

Dies IraeWhere stories live. Discover now