Aku berguling keluar dari Portal Abyss. Tubuhku bagai sebongkah kayu yang digelindingkan dari bukit ke dermaga. Aku tidak kuasa untuk menahan lajuku dan tidak ada sesuatu pun yang dapat kuraih. Ini di bukit pinus Nameless. Rupanya seperti ini rasanya keluar dari Portal Abyss, mengingat pertama kali aku mengalaminya aku koma. Saat sampai di dataran, aku bangkit. Pusing sekali. Namun demi Ahimpraya, aku harus tetap maju dan tidak boleh berhenti di sini. Kukumpulkan kekuatanku. Sudah jelas aku akan muntah, namun kupaksa diriku untuk kembali tegak dan tidak lemah oleh hentakan di perutku. Maka aku bergerak menuju ke balairung.
Asap hitam membubung tinggi di udara. Mereka jelas tidak menggunakan meriam lagi. Apakah...apakah itu elektromagnetisme? Jantungku berdetak bagai ingin keluar dari rongga dadaku. Tidak sekarang. Tidak sekarang, Nemesis! Tidak lagi! Aku hanya dapat menjerit dalam hati ketika mataku mengkhianatiku.
Pandanganku mengikuti arah asap hitam ke langit. Di langit, kilat dan awan petir terbentuk, menyambar-nyambar. Medan elektromagnetis dan batas fisis Nameless telah dimanipulasi. Nameless yang kukenal dan Ahimpraya yang begitu perkasa mulai goyah. Para korban perang – bukan, ini bukan perang, ini sergapan yang licik, kotor, dan begitu rendah dari Nemesis – bergelimpangan di jalan menuju ke balairung. Semakin mendekati balairung semakin banyak para prajurit Ahimpraya yang semasa hidupnya adalah pejuang tangguh.
Oh, tidak! Aku berjuang menahan air mataku mengalir, karena mataku harus tetap fokus di depan. Para assassin dan personel rupanya tersebar di lapangan utama, di balairung, di ruang-ruang dalam kastil, dan di dalam markas. Bau darah, asap hitam, dan udara yang pekat mungkin karena komposisinya telah berubah akibat medan elektromagnetisnya terganggu semakin membuatku pusing.
Pintu balairung telah hancur dan lusinan personel Ahimpraya plus puluhan Nemesian bergulat di dalamnya. Kutarik tali busurku dari tempat tersembunyi untuk membantu membunuh para Nemesian yang terjangkau panahku. Sepuluh jatuh, menguap di udara. Aku harus mencari Jonathan. Ia pasti ada di suatu tempat, dan aku harus memastikan keselamatannya. Karena dia adalah prioritasku saat ini, demi The Collision, demi 50% keberhasilan rencana. Karena kalkulasi dalam otakku saat ini menyatakan kami telah kekurangan banyak personel untuk perang yang menjanjikan kelak di Swargaloka. Kemungkinannya adalah juga mengurangi mayoritas Nemesian, atau mengevakuasi Ahimpraya ke Serav. Itu yang terpikirkan olehku. Namun sambil memikirkan detailnya – karena jelas aku membuat rencana sambil berjalan – aku harus mencari sang pemimpin.
Sedetik aku ragu apakah aku harus menembus pertarungan di balairung untuk mencari Jonathan, maka kulayangkan pandanganku secara cepat untuk memindai siapa saja yang ada di sana. Dan tepat di tengah balairung, jantungku seperti copot melihat gadis itu.
Assassin Pristine dikepung tiga Nemesian bertopeng emas di sekitarnya. Jonathan bisa menunggu, pikirku. Aku menyerbu ke sana untuk membantunya.
Kedua lengan assassin masih leluasa mengayunkan pedang dengan bebas, sekalipun mataku tidak dapat dibohongi saat melihat darah dari luka terbuka di pahanya. Langkah-langkahnya masih sigap dan teratur, namun aku melemparkan diri ke tengah pertarungan untuk membantunya.
Ia melempar pandang tak percaya, seolah aku adalah hantu di sana. Memang aku telah melanggar perintah langsung Ketua Ahimpraya, namun aku tidak memiliki pilihan. Serbuan Nemesis ke Nameless tidak tak-terprediksi, namun semua tidak menduga akan begitu mendadak seperti ini. Batas fisis ditembus habis-habisan, dan medan elektromagnetisme mereka jatuh ke dalam kekuasaaan Nemesis. Paranoia akibat Serav kembali menjalari tubuhku, namun genggaman pedangku tetap kuat dan stabil.
YOU ARE READING
Dies Irae
Science Fiction"Aras free will, kehendak bebas. Bahwa alam Semesta kita terbentuk dari pilihan-pilihan yang kita ambil. Masa depanmu ada di tanganmu." - Jonathan "Kau memiliki semua yang kaubutuhkan dalam genggaman tanganmu untuk membuatnya terjadi." - Nara ...