Chapter 38. Nunc Scio Quid Sit Amor

26 3 0
                                    

"Paradoks Zeno lagi?" Kami tidak ada jadwal latihan lagi sepanjang sisa hari ini. Bermain pedang dan panah, patroli memperkuat batas fisis, mempelajari teka-teki dan skenario absurd sudah cukup menguras energi. Yang kami inginkan hanyalah duduk makan bersama dan mengakhiri hari lebih cepat. Maka kami menghabiskan sisa sore itu dengan memandangi sekeliling dari balkon lantai dua. Pohon-pohon cemara di sekeliling kastil bergoyang bertiup angin. Dari atas, kami memperhatikan Niobi bermain dengan kura-kura yang kepalanya keluar masuk mengetahui ada anjing di dekatnya. Jonathan melihat kura-kura darat itu dan paradoks Zeno muncul lagi di kepalanya.

"Tapi itu sia-sia. Bukankah bilangan finitnya..."

"Jangan mengatakan itu padaku, Nara. Kita anggap saja kau belum paham cara menjawab paradoksnya." Jonathan mulai menyebalkan. Berbicara soal berbagai paradoks dan teka-teki ternyata membawa pikirannya berkelana ke masa-masa di Swargaloka.

"Um..."

"Jadi kau menjadi kura-kura atau Achilles sekarang?"

"Kura-kura tentu saja!"

"Oke. Berapa jarak yang mau kautempuh duluan?"

"Sepuluh meter."

"Kalau begitu, jalanlah duluan."

"Aku berjalan sepuluh meter."

"Tuan Achilles, kita mulai." Kubusungkan dada membayangkan kemenangan yang sudah pasti jika menjadi kura-kura di cerita paradoks ini.

"Baik, nona kura-kura. Ingat, kau harus memakai kecepatan rendah."

Jonathan maju untuk mencapai sepuluh meterku. Selama ia berjalan, aku berjalan juga lebih jauh, namun tentu saja karena aku kura-kura, kecepatanku lebih rendah dari Achilles. Dan seperti paradoks Zeno, aku selalu sedikit lebih maju daripada Jonathan. Kami sudah berjalan beberapa meter sampai ke tengah lantai dua yang dibanjiri sinar matahari sore. Jarakku dengan Achilles alias Jonathan sangat kecil, kurang dari setengah kaki.

"Stop!" ujarku. "Permainan ini tak berguna. Apa yang kaucoba untuk buktikan?"

"Bahwa ada cacat dalam logika paradoks ini." Aku baru sadar wajahnya sangat dekat dari wajahku. Jelas dia mampu melihat pipiku merona. Ini memalukan.

"Be-benar. Itu masalah finit dan infinit kan?" Terbata-bata = mulai gugup.

"Cobalah jangan berpikir terlalu matematis. Lihat ke lantai."

"Maksudmu paradoks yang menyertai perkembangan ide soal ruang-waktu?" aku kembali berusaha mengecoh pikirannya.

"Lihat ke lantai, Nara." Nadanya final. Tidak bisa membantah.

Aku menurut. Ujung telapak kakiku hanya beberapa inci dari ujung telapak kakinya. "Apa yang hendak kaukatakan?"

Dies IraeWhere stories live. Discover now