Chapter 34. Patria

21 3 0
                                    


Saat aku terbangun kira-kira sepuluh jam kemudian (begitulah, kecenderunganku adalah tidur berjam-jam setelah melakukan apa pun yang berhubungan dengan anti-Chronon), orang sudah lalu-lalang di lantai satu. Beberapa menyulap ruang-ruang kosong menjadi klinik darurat, sekalipun ada instalasi klinik betulan di bagian timur Kastil Ksatria.

Kutanyai beberapa assassin yang tidak berada di ranjang orang sakit agar aku dapat membantu sesuatu yang mereka perlukan. Beberapa menit kemudian, aku sudah sibuk dengan aneka logistik yang meliputi makanan, air, dan obat-obatan untuk mereka yang terluka. Saat itulah aku menanyakan kepada seseorang di mana Jonathan, karena dia tidak ada di lantai satu. Aku hendak mencari ke klinik ketika suara-suara beberapa orang mengatakan 'Ketua' dan aku menoleh. Jonathan ada di sana, berdiri, tidak kulihat memakai penyangga tubuh atau apa pun, masih dapat berjalan normal. Ia mengenakan kemeja katun putih tipis dan perban terlihat di bagian-bagian tubuhnya yang sempat terluka. Perban lainnya mengelilingi lehernya yang aku yakin untuk menutupi luka jeratan cambuk. Wajahnya masih pucat karena kehilangan banyak darah, namun ia tidak sempoyongan. Kulanjutkan aktivitasku mengompres luka seorang personel yang terbaring di ranjang. Ia mengaduh setiap kutekan kain yang telah direndam cairan herbal ke luka di tulang dadanya yang menganga. Aku tidak pernah belajar kedokteran secara khusus seperti General Von, tetapi kupaksa diriku untuk cepat belajar dari dokter di Ahimpraya yang kini hanya tersisa dua orang. Serav adalah wilayahku sekarang dan aku ingin semua yang berlindung di sini menjalani proses pemulihan yang tenang.

Kucuci luka pasien di sebelahku dengan kain yang dibasahi alkohol. Jonathan mendekat. Ia memegang tangan personelnya yang dapat dijangkaunya. Walaupun tampak tenang, emosinya teraduk-aduk di dalam, aku dapat melihat dari matanya.

"Hei,"sapaku. Aku tidak ingin memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ia tampak berterima kasih karena tidak perlu berbicara panjang lebar. Jonathan tersenyum lemah.

"Semua lukamu sudah dirawat?" aku membuka percakapan kasual. Ia menganggukkan kepala.

"Kau butuh bantuan?" tanyanya. Aku menjawab tidak perlu, karena masih bisa kuatasi sendiri. Tangannya terulur ke arah alat-alat yang kugunakan: kain, gunting, rendaman alkohol, cairan herbal. Perlahan tapi pasti, ia menyamakan irama tangannya denganku, menangani pasien yang belum kurawat. Kami bekerja dalam diam yang menyenangkan. Meditatif. Gerakan repetitif yang membuat irama di otakku lebih teratur. Penelitian memang mengatakan melakukan hal-hal meditatif dan teratur dapat meningkatkan konsentrasi dan menenangkan pikiran. Mungkin itulah alasan Jonathan membantuku, lebih untuk membantu dirinya sendiri. Pastilah badai yang berkecamuk di dirinya sekarang, dan bukan hanya guncangan kecil.

Kami selesai menangani satu baris ranjang pasien ketika jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sesuatu yang hangat mengalir di sela-sela jariku. Jonathan menyentuh bahuku halus hingga aku menoleh, dan aku menyadari darah telah menuruni lenganku dari luka sabetan pedang Nemesian yang belum tertutup sepenuhnya. Kuturunkan syal yang menutupi leher dan bahuku, lalu kubuka perbanku. Merah tua darah yang mengering tidak menghentikan laju aliran darah dari luka menganga di baliknya. Aku meringis saat Jonathan mengompresnya. Ia melanjutkannya dengan membungkus lukaku dengan perban yang baru dan bersih. Semuanya dilakukan tanpa kata-kata. Aku berusaha mencari arti komunikasi diamnya. Kulihat ke dalam matanya. Namun ia menyembunyikan matanya dari arah pandangku dengan baik. Ia selesai. Pamit meninggalkanku dengan diam. Hanya menepuk bahuku lembut, lalu pergi karena para pasien telah ditangani.

Dies IraeWhere stories live. Discover now