Jonathan's POV
Tidak kutampik fakta bahwa aku sama takutnya dengan Nara menghadapi apa yang di depan. Seperti tabir kabut yang terbuka, udara dingin di sekitar kami terkuak dan menyingkap udara lebih hangat di depan. Tubuh kami serasa habis dipaksa dilewatkan dalam sedotan maya. Mungkin inilah...
"Lapisan pertama Novastella?" tanya Nara ragu-ragu. Masih tidak kulepaskan genggamannya sejak tadi. Kuharap ia tidak merasakan tanganku yang kini licin akibat keringat.
"Berjaga-jagalah. Kita tidak tahu apa yang digunakan kali ini," pesanku. Lebih kepada diriku sendiri, kedengarannya.
Gelap pekat masih menyelimuti kami. Namun ada sesuatu yang tidak wajar di kegelapan yang ini. Seperti ada sesuatu yang eksis, yang tidak seharusnya ada di kegelapan ini. Jangan-jangan, makhluk kegelapan? Aku tidak yakin.
Bukan bunyi berkerisik, atau gumaman halus, atau bau-bauan aneh, atau bahkan detak jantung musuh yang terdengar yang membuatku terkesiap. Bukan sama sekali, karena bahkan aku tidak dapat mendengarkan bebunyian atau mencium sesuatu yang tidak pada tempatnya. Ruang-waktu ini gelap pekat, murni. Namun inderaku merasakan bahaya. Bahaya besar ditangkap sensoriku dan mengaktifkan seluruh ototku sebelum menyampaikannya ke otak. Alam bawah sadarku telah memperingatkan kami. Adrenalinku terpacu. Darah berdesir dan jantungku bertalu-talu. Refleks, kucengkeram gagang pedangku. Nara merasakan genggaman kami terpisah dan dia pasti bertanya-tanya. Namun dia tidak mengutarakan satu kata pun, dan aku yakin dia pun siap dengan pedang bermata-gandanya sendiri.
Nara bergerak berputar dan menjauh. Lalu kurasakan punggungnya di sisi tubuhku, dan aku tahu kami memang harus segera memasang kuda-kuda berpunggung-punggungan semacam ini jika ingin mendapatkan pandangan yang lebih luas.
Alih-alih menanyakan "Siapa itu?" seperti orang bodoh, kami bersiaga dalam diam. Aku tidak lebih berani daripada Nara. Jantungnya pun berdegup kencang. Dalam kegelapan dan kesunyian total, kami dapat saling mendengar bunyi nafas satu sama lain.
Berbulan-bulan yang lalu, aku memaksa Nara untuk belajar melawan serangan dalam gelap dengan cara menutup matanya dengan kain. Sekarang, mimpi buruknya itu benar-benar terjadi. Tanpa komando, tanpa gesekan atau derakan apa pun, sebuah bunyi swiissh pelan menandai pergerakan suatu benda tipis menuju kami. Tanganku bergerak secara otonom, ia menarik pedangku dari sarungnya dan menangkis benda tipis itu. Bunyi berkelontangan menandai jatuhnya benda itu ke lantai. Dari bunyinya, kuduga itu adalah senjata yang lebih berat daripada anak panah. Mungkin belati. Atau bahkan pedang.
Bunyi desiran ringan kedua tertangkap telinga kami. Kali ini ke arah Nara. Dan ia tidak siap. Bunyi cabikan pakaian sebelum kelontang di lantai dan suara mengaduh pelan kudengar. Ia pastilah kena. Namun Nara sepertinya tidak berani mengajakku bicara karena telinga kami tetap harus tajam terhadap lingkungan yang ingin membunuh kami ini. Sesaat aku ragu ingin mengecek kondisinya, namun ia berdeham pelan, dan kuharap itu pertanda lukanya tidak fatal. Aku tidak boleh lengah sedikit pun. Jika salah satu dari kami mati, The Collision dinyatakan batal dan semua rencana sia-sia. Rencana cadangan adalah memanggil seluruh Ahimpraya ke Swargaloka dan berperang habis-habisan dengan senjata canggih kami. Yang berarti kematian banyak orang, korban jiwa dari Swargaloka, dan peluang menang tipis (yang aku sendiri tidak berani berharap sebaliknya).
YOU ARE READING
Dies Irae
Science Fiction"Aras free will, kehendak bebas. Bahwa alam Semesta kita terbentuk dari pilihan-pilihan yang kita ambil. Masa depanmu ada di tanganmu." - Jonathan "Kau memiliki semua yang kaubutuhkan dalam genggaman tanganmu untuk membuatnya terjadi." - Nara ...