"Sesuatu telah terjadi." Jonathan menangkis serangan pedangku. Telak. Aku roboh ke tanah tanpa perlawanan berarti. Dia tidak berlelah-lelah mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Sikapnya semakin mengesalkan dalam perkembangan terakhir. Sama seperti semua teknologi yang dimiliki Ahimpraya, tidak bernyawa, tidak berjiwa, kira-kira seperti itulah dia memperlakukan dirinya dan diriku belakangan ini.
"Nara, berapa kali harus kusorongkan pedang ini ke mukamu agar kau tidak melamun lagi?" serunya frustrasi. Jemarinya menyisiri helai-helai rambut hitamnya yang berantakan. Aku naik pitam. Mungkin baginya aku melamun, namun aku sedang menganalisis perasaanku, anti-Chronon-ku, dan dia begitu saja membiarkan ujung pedangnya bertengger di bawah daguku.
Aku berdiri dengan sikap waspada. Ketua Ahimpraya itu tidak menunjukkan ekspresi emosional sedikit pun. Seperti batu. Atau pualam putih. Atau topengnya. Mungkin lebih baik dia bertopeng daripada tampil dengan wajah aslinya namun tidak berbeda dengan mesin.
"Maaf, tapi aku lelah. Tiga hari berturut-turut kau menyuruhku mencapai 90% dan itu mengeringkan kekuatanku ke level setelah membuat Portal Abyss pertama kalinya."
"Ya, tapi saat ini kau tidak sedang koma, jadi kuanggap pedangmu masih boleh terhunus," cibirnya. Dia selalu menemukan caranya mengasah kemampuan sinismenya di depanku.
Dentingan logam beradu logam seketika terdengar ketika aku memutuskan untuk tidak lagi menahan amarah. Ujung pedangku menggores pipinya, namun luka yang dibuatnya kecil.
"Bisakah...bisakah aku beristirahat? Kau melihat sendiri aku tidak mampu menahanmu lagi. Mungkin sama saja jika kau membunuhku di sini."
Jonathan menarik pedangnya, memutarnya dengan gaya khasnya, lalu menyarungkannya kembali. Aku lebih dulu meninggalkan area pertarungan untuk menyandarkan punggung dan melemaskan kaki di selasar.
"Ada apa?" tanyanya. "Sesuatu telah terjadi, sehingga pola energimu kacau. Singkat kata, kau lemah." Ia bertengger di tiang di seberangku. Kepalanya bersandar di tiang dan menengadah ke kayu rangka atap yang digantungi lonceng angin. Oh, bahkan saat matanya terpejam, dan menarik nafas untuk menstabilkan ritmenya setelah bertarung, dan keringat mengalir menuruni sisi wajahnya, ia masih tampak seperti makhluk mitologi. Bukan waktunya untuk mengagumi Jonathan, Nara.
"Mungkin aku kurang istirahat. Yang kaulakukan ini lebih dekat ke arah penyiksaan seperti yang kaulakukan kepadaku di Puri Kristal," cemoohku.
Entah kenapa aku seperti ingin meledak, ingin memancing amarahnya agar ia pun juga meledak dan membalasku. Entah untuk sampai kapan. Membicarakan peristiwa itu selalu mengganggunya karena aku nyaris menjadi mayat di tangannya sendiri. Sebelum aku menjadi mayat di saat yang seharusnya, kuingatkan diriku.
Yang mengejutkanku, dia tidak membalas. Matanya terbuka perlahan, menampilkan iris kelabu yang sampai saat ini masih menawan hatiku. Aku tahu pertahananku akan melemah jika menatapnya, maka kubuang muka.
"Kau tahu, Nara...semua yang kita lakukan akan sia-sia tanpa kepercayaan. Aku memahami bahwa semuanya ini menjadi sangat sulit bagimu. Kurang dari setahun yang lalu aku datang ke dimensimu dan semua berubah menjadi pahit. Pertarungan. Nemesian. Perpecahan kabinet. Desersi. Dan kini setiap hari kau menghabiskan waktu menempa anti-Chronon agar setara dengan Chronon untuk sebuah peristiwa yang – tidak ada kata yang lebih halus – membawamu ke kematianmu sendiri."
YOU ARE READING
Dies Irae
Science Fiction"Aras free will, kehendak bebas. Bahwa alam Semesta kita terbentuk dari pilihan-pilihan yang kita ambil. Masa depanmu ada di tanganmu." - Jonathan "Kau memiliki semua yang kaubutuhkan dalam genggaman tanganmu untuk membuatnya terjadi." - Nara ...