Song for this chapter :
Zayn Malik-Pillow Talk
***
Dua menit yang lalu aku turun dari taxi, dengan ongkos yang fantastik, tapi aku benar-benar tidak mau mengingatnya.
Melihat arlogiku, aku rasa perjalanan tadi menghabiskan waktu kira-kira sekitar setengah jam. Menyebalkan. Kenapa pula Jupri tidak menjawab smsku?
Kini aku tengah berhadapan dengan pintu nomor 193. Aku telah mengetuk pintu lebih dari tiga kali dan jawabannya, hanya hening. Tidak ada seorangpun yang membukakan pintu.
Sial. Tidak tahukah kalau kini aku hampir mati kedinginan rasanya. Aku masih belum dapat beradaptasi dengan cuaca dingin seekstrim Madrid! Dan terutama telingaku, rasanya nyaris membeku.
Aku mengetuk pintu lagi, namun kali ini ketukan dari kepalan tanganku keras seperti orang kesetanan. Ini memang tidak sopan. Tapi mau bagaimana lagi. Terpaksa.
Menggosok-gosok kedua telingaku dengan tangan yang lumayan hangat. Kemudian refleks saja membuka pintu yang nyatanya tidak terkunci.
Sekejap aku terpaku ditempat. Ruangan gelap total. Aku rasa kini aku berada diruang tamu. Cahaya temaram tersorot dari suatu ruangan. Ya, hanya satu ruangan saja yang lampunya menyala. Ruang dipojok kiri dekat anak tangga.
Bukannya parno, tapi aku memang sangat tidak ahli menenangkan diri sendiri dikondisi gelap seperti ini.
Kakiku berjalan menuju sumber cahaya dipojok ruang ini. Dan betapa yang ku saksikan ini sungguh mengilukan sekujur tubuhku. Sontak aku berteriak sekencang-kencangnya.
"Heh! Heh! Silent! Oh, damn!" laki-laki yang bertelanjang dada itu berlarian kecil kearahku sembari menutup telinganya.
Sontak aku menutup mata. Dan berlari dengan pelupuk mata yang masih terkatup rapat. Berlari tanpa tahu arah. Intinya hanya berlari.
"Oh, shit!? Who are you?" bentaknya.
"Diana de Indonesia." jawabku seraya masih terpejam.
"Diana? So you're the one who will teach me Bahasa?" tanyanya dengan nada suara yang mulai melembut.
"Yeah, and now I ask you to wearing your clothes!"
Oh, sial. Ini benar-benar diluar dugaan. Benar-benar pertemuan yang hancur.
"Open your eyes. I already wear my clothes,"
Detik itu juga ketika ia mengatakannya, aku langsung membuka mata.
Dan yang aku sadari kini adalah lampu ruang tamu telah menyala. Sekeliling jelas semua. Dihadapanku kini berdiri seorang laki-laki español memasang wajah kusutnya. Sedangkan di sisinya berdiri seorang wanita berambut pirang tengah memandangiku kesal.
"What the hell is this?!" wanita itu tampak marah besar. Ya tentu ia tampak marah besar, momen besarnya telah terganggu oleh kehadiranku. Tapi tunggu, aku rasa aku mengenalnya.
"You?" ucapku tak percaya, melihat gadis yang ku temui di Bandara tadi itu, kini ada disini. "We met in airport, right?" tanyaku dan ia hanya diam.
"I've to go right now, Marc." Ucap wanita cantik itu sembari meraih kopernya di dekat sofa.
"Mm..Yeah, yeah," jawab Marc malas-malasan tanpa menoleh pada gadis itu.
Ya, Marc sama sekali tidak menghalangi bahkan mencegah wanita cantik bak Barbie itu keluar dari pintunya. Bahkan Marc tidak melihat gadisnya sebelum pergi.
Matanya itu tersorot tajam padaku. Jantungku menohok, pikiranku kacau memikirkan apakah aku telah melakukan suatu hal yang salah? Setidaknya keberadaanku telah mencegah hal itu.
Marc's POV
Dua menit yang lalu Darren menelepon, jelasnya guru privateku dari Indo itu baru akan datang besok. Ada urusan lain, jelasnya.
Ini sedikit menyebalkan, padahal sudah sedari tadi aku menunggu, ingin menyambut kedatangan beliau, sebagai guruku aku ingin menghormatinya dan menjamunya dengan makan malam yang istimewa dengan menu makanan terbaik yang dimiliki hotel mewah ini.
Dinner biasa saja hanya bentuk respect-ku terhadap beliau. Lagipula Darren bilang kalau guruku adalah seorang perawan tua yang sedikit cerewet dan tegas dalam mengajar. Ujarnya aku tidak akan tertarik. Tentu saja, mana mungkin aku akan mengencani wanita tua. Darren kadang-kadang suka bercanda.
Tak lama kemudian, ponselku berbunyi. Aku benci untuk mengakui bahwa sebenarnya aku paling tidak suka jika ada orang sok akrab tiba-tiba meneleponku, apalagi dalam waktu yang lama.
Aku paling tidak enak hati untuk mengakhiri telepon mereka apalagi sampai tidak mengangkatnya. Dan terutama yang satu ini. Aku dibuat kalang kabut, jawab atau tidak.
Gigi's Calling...
"Hola,"
"Hola, Marc! Open your door!" perintah Gigi.
"What?"
"C'mon!" rajuknya merayu manja.
Aku malas-malasan membuka pintu. "Tada...!" itu ucapnya lewat sambungan telepon dan juga secara langsung didepan mata.
Oh Lord!? Selama bertahun-tahun aku menghindari wanita ini, apalagi bertatap muka dengannya dan kini ia muncul didepan pintu kamarku. Damn! Siapa yang memberitahu dia.
"How did you know my room?" (bagaimana kamu tahu ruanganku?)
"Darren. C'mon Marc, I've been vacation, its awesome but I'm getting tired, can you just let me in, huh?"(Darren. Ayolah Marc, aku habis liburan, keren tapi kini tubuhku lelah, kau tidak ingin menyambutku, huh?) kata Gigi sambil menerobos begitu saja.
Masuk tanpa seizinku. Gigi langsung menggeletakkan kopernya sembarangan. Kemudian ia menghempaskan tubuh langsing dan jangkungnya ke sofa ruang tamuku. Mengistirahatkan tubuhnya disana.
Sialan kau Darren. Awas saja besok aku akan membunuhmu. Itu kiasan betapa kesalnya aku kini terhadapnya. Bukannya apa-apa. dan itu tidak benar jika aku akan membunuh asistenku sendiri kendati ia telah membuatku dalam kondisi rumit sekarang.
Bagaimana tidak rumit? Gigi adalah salah satu umbrella girl, bukan untukku. Tapi untuk Dani Pedrosa.
Aku tahu benar kalau dia menyukaiku sejak lama. Tapi aku selalu dingin padanya. Kendati hatiku pernah berdesir melihat kecantikannya.
Kecantikkannya, mata birunya, rambut pirang indah miliknya dan jujur aku rasa Gigi adalah umbrella girl tercantik yang pernah ada. Tapi aku tidak bisa. Tetap tidak bisa. Bagaimana tidak? Kami memiliki banyak perbedaan. Dan cinta itu akan jadi omong kosong jika kami berbeda.
Melupakan sebentar mengenai tinggi badan kami yang jauh berbeda. Ia adalah model asal Amerika dengan tinggi 185, sedangkan tinggi badanku hanya 168. Miris. Itulah faktor yang membuatku minder mendekati para model-model cantik. Kendati aku sangat menyukai mereka.
Dan point utamanya adalah agama kami berbeda. Ya, juluki saja aku orang yang perfectionis. Kendati kami bisa saja berpacaran beberapa tahun sesuka kami, bosan lalu putus.
Tapi aku tidak mau ambil resiko. Dia muslim dan aku seorang kristian yang taat. Tidak mau ambil resiko kalau kami nantinya benar-benar dekat dan tidak bisa terpisahkan. Kendati aku pribadi tidak percaya pada cinta sejati semacam itu. Hanya dongeng bualan yang dikarang manusia berotak dangkal. Begitulah persepsiku.
Gigi mulai melakukan hal ganjil setelah berdiri dari duduknya. Bergerak mematikan lampu ruang ini. Menunduk disana beberapa saat. Kemudian mengangkat kepala, langsung menatapku perlahan dari tempatnya.
Entah apa yang ada dikepalanya. Aku rasa aku bisa menebak. Tapi pemikiranku bak buram seperti pandanganku terhadapnya saat ini. Yang aku rasakan, rambut pirangnya seolah menyala digelapnya ruang ini.
Ia mengerjapkan mata sekali, menghembuskan nafas pasrah yang berkepanjangan, membuat hatiku kelu seolah mengerti apa yang ia rasakan. Ia pasrah dan lelah. Dan ya aku merasa memiliki kemistri dengannya detik itu juga ketika ia berkata.
"I'm getting tired, and I need to begin." ucapnya sungguh hati-hati, namun berhasil menohok hatiku.
Ada perasaan bersalah menyusup tiba-tiba. Ya, wanita cantik dan sempurna itu begitu menginginkanku sedari lama.
Menungguku tak terhitung waktu yang ia habiskan untuk menunggu orang sepertiku yang kaku dan hanya mengerti soal motor. Bodohnya aku.
Oh, Marc. Lenturkan tubuhmu. Terutama hatimu. Menyatulah. Satukan. Dan balas apa yang selama ini dia berikan. Jangan dustai dirimu yang memang sejatinya mencinta dan butuh dicintai.
Lupakan sebentar saja tentang motor, balapan minggu depan, kualifikasi, poin-poin sialan, segala ketertinggalan, circuit-circuit yang dengan lokasi yang berbeda-beda, hitungan tikungan tajam, dan terbang dari negara asing yang satu ke negara asing yang lainnya lagi. Lagi dan lagi.
Rossi dan Lorenzo yang membuatmu semakin tertekan. Konflik konyol yang berkepanjangan. Kembalilah pada harfiahmu yang mememang membutuhkan seorang wanita yang dapat menghiburmu dan menunjukkan apa itu cinta sebenarnya.
Tanpa sadar, aku kini telah berjalan ke arah kamar tidurku. Dan Gigi sudah berada disana. Tanganku sigap melepas kausku. Dan sejurus kemudian aku telah menyaksikan bahwa tangan kananku melemparnya kesembarang arah. Ini akan jadi yang pertama kali dalam hidupku. Lagu-lagu cinta terputar dikepalaku secara spontan. Detak jantungku cepat namun sesuai tempo mengikuti irama dan beat dentumnya.
"AAAAAAAAAA!?"
Sontak aku langsung memutar tumitku dan mendapati seorang wanita berkerudung telah berdiri didepan pintu kamarku. Dia menutup matanya rapat kemudian berlari keluar kamar sekencang yang ia bisa. Siapa dia? Ada orang asing di kamarku?
"What the hell is this?" bentak Gigi.
***
Aku masih memutar kejadian kemarin. Untung ada guru itu kalau tidak, kacaulah aku. Aku akan benar-benar bersama Gigi semalaman penuh.
Tameng pertahan iman yang ku bangun sedari dulu runtuh sudah berkat semalam. Menjijikan. Sulit untuk dipikirkan dengan pemikiran jernih. Oh, aku harus keluar hari ini. Melakukan aktivitas untuk sekedar lupa. Entah apa itu yang penting agar bisa lupa tentang kejadian (nyaris) yang semalam. Aku harus pergi ketempat yang mendamaikan jiwaku. Aku rasa aku harus pergi ke Gereja hari ini.
Tapi aku sedikit heran. Bukannya guru itu ada acara lain dan memberitahu lewat Darren kalau ia tidak bisa datang kemarin malam? Entahlah.
Yang kini aku bingungkan adalah bagaimana cara untuk mengawali komunikasi dengan wanita berkerudung itu.
Tapi tunggu dulu. Sepertinya ada yang salah. Wah, benar! Benar-benar kacau si Darren. Ia bilang guruku adalah seorang perawan tua yang cerewet. Tapi kenyataannya wanita ini masih muda mungkin usianya sebaya denganku. Dan soal cerewet, ia sama sekali tidak terlihat cerewet bahkan sarapan pagi antara kami berdua begitu terkesan formal. Bahkan suara denting sendok dari piringnya tak berbunyi. Sangking sopan dirinya. Dasar Darren si pembohong.
Diana's POV
"Berapa umurmu?" tanya Marc untuk yang pertama kali ketika kami tengah sarapan pagi di meja makan dapurnya.
Pagi ini Marc sudah rapi dengan kemeja putihnya, mungkin ia hendak keluar. Ia tampak segar dengan tatanan rambut yang rapi pula. Baunya pun tercium dari tempat dudukku, begitu wangi, aku rasa hidungku dapat mengenali aroma harum itu. ESKULIN parfum, aroma Blue Temptation. Ah, aku yakin pasti itu. Ya ampun, apa benar Marc pakai parfum wanita?
Menggelengkan kepalaku agar aku fokus menanggapi pertanyaannya. Wah, mengesankan ia dapat bertanya umur seseorang dengan kata tanya bahasa Indonesia yang tepat. Aku yakin ia sudah banyak belajar bahasa Indonesia sebelumnya.
"Usiaku 20 tahun,"
"Aku juga,"
Hening kembali merenggut. Aku tidak betah berdiam diri terlalu lama. Sebaiknya aku bertanya sesuatu. Sudah seharusnya sebagai seorang tamu aku menanyainya dan menutupi sosok pribadiku yang sejatinya dikenal misterius ini. Aku tidak mau orang baru disekelilingku menganggapku demikian.
"Marc, boleh aku tahu mengapa kamu ingin belajar bahasa Indonesia?"
"Ya, jujur saja," aku mendengar ia menghembus nafas, kemudian menyenderkan punggungnya pada kursi. "Aku jatuh cinta.."
Jatuh cinta? Sama orang Indonesia? Jadi pria tampan ini sudah punya pacar, toh. Apa?! Apa barusan aku bilang dia tampan? Lumrah dan wajar saja kalau aku berpikir seperti itu. Tapi tidak boleh terlalu larut memuji cover seseorang.
Melihatnya berpikir, untuk sekedar merangkai kata-kata yang tepat, betapa ku hargai usahanya mengesankanku tentang sejauh mana ia dapat berbicara bahasa Indonesia.
Mengernyitkan kening dan masih berpikir. Caranya berpikir keras dan berkutat dalam pemikirannya, aku rasa saat-saat seperti ini ia terlihat seksi. Apa?! Apa barusan aku membatin kalau dia itu seksi?! Oh, tidak pikiranku kacau jika terus memandanginya. Sebaiknya aku harus mulai menjaga pandanganku pada Marc. Tapi kalau sedang mengajar akan jadi repot nanti jika tidak melakukan kontak mata. Ah, entahlah.
"Jangan dipaksakan. No matter. Speaking English, please."
"Ah, No! Let me speak bahasa and practice, and if I talk something wrong you must to tell me, O.K?" aku langsung mengiyakan. "Ee.. Aku jatuh cinta Bali, tapi lebih jatuh lagi kepada ee.. fans.. and ee... Enough,"
Eh? Bahasanya lucu sekali kalau dipaksakan. Aku menahan gelak tawa dengan meneguk air putih digelasku.
"Something wrong? Just laughing if you gonna laugh," Marc tersenyum ramah.
Aku rasa ia memiliki senyum yang lebar dan itu sangat langka. Senyumnya dapat membahagiakan orang yang melihatnya secara langsung.
Wah, pantas saja dia banyak yang suka, selain bertalenta, berprestasi dengan berhasil menjadi juara dunia empat kali, itupun kalau aku tidak salah, dan terutama senyumnya yang ramah sungguh itulah ciri khasnya.
Mengerjap mataku untuk konsentrasi. Aku berniat melakukan pelajaran sedikit sebelum pelajaran bahasa yang sebenarnya yang telah dijadwal sore nanti.
Bergerak menaruh gelas dari tanganku diatas meja. Aku mulai membuka mulutku dan menjawab.
"Aku jatuh cinta padamu..."
"What? Repeat, please!"
Aku dapati ia belalakan matanya. Apa yang salah? Oh, tidak. Apa yang telah ku ucapkan?***
Aku semangat Handwritting-nya. Jangan kecewakan aku. Vote and comment. Thanks for read.By : NY. Jeffrey alias Dinda.
©IGNITE. Chapter 0.2 Already released.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITE. (Marc Marquez)
FanfictionCerita tentang cinta beda agama. Iremos a un Hotel (Kita pergi ke Hotel) Iremos a cenar (Kita pergi makan malam) Pero nunca iremos juntos al Altar (Tapi kita tidak bisa pergi ke Altar bersama) ©IGNITE. released... Marc Marquez Fanfiction All about m...