Chapter 21

275 22 4
                                    

I'm not into Marc any more. Tapi aku menulis ini disaat libur dan untuk kalian yang komentar di chapter 20 makasi. :*





Luca's POV



Untuk pertama kalinya dalam hidupku, seorang Luca Marini harus memutar keras otaknya untuk sekedar mendapatkan seorang wanita.





Ini tidak benar. Tapi inilah adanya. Aku telah memberinya perhatian lebih, yang mana siapa pun wanita bahkan Alex-yang sejatinya pria-akan jatuh hati padaku. Dan perasaan itu bisa semakin diperkuat dengan ketampananku yang mutlak yang bahkan tak dimiliki Vale.






Tetapi tidak, wanita itu. Diana. Aku sungguh ingin memenangkan hatinya tanpa sedikitpun berniat mempermainkannya. Ku rasa ia tidak melihat seorang pria dari ketampanannya. Entahlah siapa yang tahu. Hanya terlalu munafik jika seorang wanita tidak berpikir demikian.




Sekali lagi, entahlah. aku terlalu lelah bermonolog dengan diriku sendiri sembari melihat pantulan wajahku di cermin.






Ini gila. Aku telah mengalahkan rekor terlama gadis pubertas dalam bercermin. Dengan gerak cepat, aku meletakkan cermin di dashboard, dengan jemari yang kaku, menahan diri untuk tidak bercermin kembali.







Aku melipat lenganku di dada. Beberapa menit yang lalu bagaikan tak berharga, sebelum kini ku lihat ia di antara kerumunan orang berlalu lalang di sana. Semua orang berlalu dengan tujuan. Dan aku menunggu. Menyaksikan bagaimana ia mendekat, mengeliminasi jarak. Napasku tersengal. Wanita yang ku temui di elevator saat itu. Bagaimana bisa..




Gradiasi warna merah-oranye yang hangat langit kala ini mengingatkanku akan sesuatu. Sesuatu yang berkuasa atas segalanya. Membalikkan terang ke petang dengan mudahnya, seperti membalikkan jam pasir. Membiarkan pasirnya berdesir perlahan atau menyeruak cepat. Aku tahu ini terlalu cepat, tapi dalam hening aku menyusupkan doa harapan yang ku yakini tak ada seorang pun dapat menjadikannya nyata. Yang bisa hanya sesuatu yang tak dapat ku lihat, sesuatu yang sama yang dapat membolak-balikkan jam pasir kehidupan. terang. Petang. Dan kutub yang berlawanan.




Detik ini juga, aku berdoa.


Memohon pada siapa pun Tuhan.


Yang pasti mendengar.


Aku ingin Diana, tidak yang lain.



Aku ingin ia untukku, tidak untuk yang lain.


Maafkan aku, Tuhan.
Atas doaku yang terkesan egois, tapi itu adanya.


Untuk siapapun Tuhan yang menyaksikan.





Diana melambaikan lemah. "Terima kasih sudah mau datang menemuiku." Wanita itu mengulum bibirnya. Aku bisa melihat betapa pemalunya ia, juga kelembutan hatinya.




Aku terdiam memandanginya untuk beberapa saat, hingga detik kemudian, matanya melirik pada sesuatu yang bahkan aku tidak tahu apa. Aku tergelak dalam hati saat tersadar bahwa ia mulai kaku akan malu sebab ketidakwajaran sikapku.






Ku panggil namanya. Dan saat ia menoleh, aku telah menunjukkinya sesuatu yang mustahil ia terlupa.







Diana mengerjapkan matanya dan ia menatapku detik kemudian. Tidak lama, sebelum kini ia tampak hendak buka suara.






"Kau masih menyimpannya? Bahkan kau mencucinya? Maksudku.. itu tidak perlu. Kau boleh membuangnya." Ucapnya, dan aku tergelak akan ironi pemikirannya.






Tanpa berkata, ku langkahkan kakiku mendekat. ku lebarkan kain itu dan ketika Diana mengerti apa yang akan ku lakukan, ia tampak defensif, dan bergerak menjauh.

IGNITE. (Marc Marquez)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang