17. Night with Cam

802 44 11
                                    


Songs of this Chapter :

Charlie XCX-Boom Clap

Cameron Dallas-She Bad
***

Marc's POV


Satu malam dapat mengubah segalanya. Tubuhku terpelanting ke permukaan matras yang nyaman dan hangat, membuatku menggeliat kelewatan nyaman dan hanya ingin memejamkan mata.



Namun suara gelak tawanya membuatku sekejap terbelalak, menghancurkan keheningan yang membentang diantara kami. Dalam detik lamanya ku pandangi ia, pria tampan yang merebahkan tubuhnya disampingku, bahkan ku dapati tangan kirinya telah melingkar merangkul bahuku.



Aneh rasanya. Kami dua pria dewasa berbaring di matras yang sama, memiringkan tubuh, dan saling berpandangan, bertahan pada posisi ini dalam waktu yang cukup lama.



Mengerjapkan mataku, menunduk, dan mencoba menetralisir pemikiranku yang telah kacau sebab banyak minum. Dan sebersit memori tiba-tiba muncul, mengingatkanku akan apa yang terjadi dua jam yang lalu.




Aku menyesap sampanye keduaku. Sedangkan Alex hanya terdiam, menganggurkan gelas sampanyenya. Ku pandang raut wajahnya, disana ia selalu menunjukkan roman yang sama, kemurungan.



Andai aku bisa menghibur hatinya, namun sayangnya segala yang ia butuhkan hanyalah Luca Marini.



Tak ada yang dapat ku lakukan, selain membiarkannya larut dalam kemurungannya, sedang aku menyesap sampanyeku perlahan-lahan dan menikmatinya.



Malam akan berganti. Namun aku dan Alex seolah beranggapan bahwa hari esok tiada lagi. Berlagak pula bahwa ini adalah malam terakhir bagi kami, tiada kehidupan lagi bagi kami para pecundang yang tak dapat bangkit dari keterpurukkan. Maka menghabiskan waktu di mini bar terkutuk ini, mabuk-mabukan, menenggelamkan masalah masing-masing pada ratapan sepi tak berujung, adalah solusi yang tampak paling benar untuk saat ini.



Diana tak ingin melihat wajahku lagi?!?



Seorang Marc Marquez Alenta, menderita karena seorang wanita tak mengindahkan keberadaan dirinya sesuai dengan harapannya. Menyedihkan.


Aku tidak boleh seperti ini! Seolah-olah aku akan mati perlahan lantaran itu. Oh menggelikan!! Yang benar saja?? Cinta adalah perkara terumit bagiku. Benar-benar membuatku muak!!!


Aku bersumpah jika aku terus melemah lantaran wanita, seperti saat ini. Maka akan ku nikahi motor ku sendiri tahun depan!

Eeeee... Tidak juga! Aku masih punya akal sehat.



Banyak wanita dibelahan bumi ini, namun nyatanya aku hanya ingin jatuh cinta pada Diana.



Aku tahu semua wanita menginginkanku, pupil mata mereka akan melebar tatkala aku sekedar berlalu di sekitar mereka.



Binar mata mereka membuatku seolah mampu menerawang jauh pada apa yang berada dibalik kepala mereka. Ada namaku disana 'Marc Marquez' dan daftar panjang impian-impian sepi mereka bersamaku.



Tetapi itu semua tidak ku temukan dalam pandangan mata Diana disetiap melihatku. Tatapannya sendu, damai, dan terkadang memberi kesan dingin. Sekali ku dapati ia mengerjapkan mata, tak akan merubah pandangannya terhadapku, sedangkan dalam hening ku rasakan kediamannya begitu menyiksaku. Karena aku butuh ia untuk terus terang, beri aku tanda-tanda bahwa ia menyukaiku juga, dan segera akhiri kegelisahan ini.


"Marc?" pangil Alex tiba-tiba, membuatku dengan malas menengok ke wajahnya. "Kau baik-baik saja? Kau mabuk, Marc?"


Menggeleng singkat, kini aku mengernyitkan dahiku. "Tidak. Aku baik. Kau mau pulang?"


"Tidak. Lagipula, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan di kamar hotel kalau pulang sekarang. Kalau kau sendiri?"


"Sama. Aku juga tidak mau!" jawabku sambil menangkup wajahku dengan sebelah tanganku. "Rasanya malas sekali untuk melakukan apapun."


"Truth or dare!" kata Alex membuatku bingung.


"Apa?"

IGNITE. (Marc Marquez)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang