Chapter 8

782 59 8
                                        

Song of this Chapter :
Cameron Dallas-She Bad
(si jupri yang nyanyi) jajaja
***

Ada sesuatu yang aneh padaku. Entahlah. Isi dari kepalaku terasa begitu berat, samar-samar terasa berdenyut dengan hebatnya.

"Marc..."

Oh, suara lembut itu terasa tak asing lagi dipendengaranku. Ingin ku dengar lagi suara itu. Perlahan tanganku mulai meraba-raba sekitar. Kendati kini aku terpejam, namun otakku menempatkan posisiku pada suatu tempat yang bahkan aku belum pernah kesana. Pepohonan rindang, disinilah aku berteduh. Sinar temaram namun cukup terang, saat inilah aku mulai mendongakkan kepalaku. Angin tenang, udara lembut semilir, atmosfer yang ku rindukan. Aku berada di puncak gunung, ku rasa. Sepi. Namun aku tak takut lantaran itu, sebab suara itu terus memanggili namaku, sangat lembut. Oh, siapakah pemilik suara penuh cinta itu?

"WOYY MARC BANGUN!!??" diganti oleh suara pria yang memekikan pendengaran.

Rohku yang berkelana entah kemana selama aku terlelap dengan imajinasi indah, kini terasa meloncat ke tubuh kembali dengan kasarnya. Dan sekasar itu pula ku rasakan sebuah tangan kekar mengkocok-kocok tubuhku, kemudian menampar pelan kedua pipiku dengan ritme yang bisa dikatakan kasar.

Mataku terbelalak lebar melihat Alex kini muncul didepan batang hidungku. Wajahnya datar, tapi juga ku lihat ada gurat kelegaan disana ketika melihatku pertama kali membuka mata.

"Marc..."
Ah, suara penuh cinta itu, kembali terdengar.

"Kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita berkerudung, Diana.

"Minumlah.." secangkir teh hangat dengan sedikit uap mengepul dipadu irisan jeruk sitrun ditambah lagi dengan suaranya dan tatapan matanya yang sarat akan cinta. Begitu menakjubkan. Benarkah? Oh, pasti lantaran mabuk semalam.

Oh God! Aku mabuk berat semalam. Dan benar aku kehilangan kendali semalam. Tak habis pikir. Kemarin aku mendatangi club murahan tengah kota, meneguk segelas sampanye murahan, teguk, teguk, dan teguk lagi. Hingga aku lupa hitungan gelas yang berjejer dimeja bar sisiku. Yang detik itu tak terlupakan hanyalah Alex. Aku terus merutukinya tanpa henti dengan gumam tak jelas.

Kehilangan kendali, aku berjalan gontai ketengah. Mengikuti hentak musik, mengikuti dentumnya dengan jingkrak-jingkrak tak karuan bersamaan dengan orang-orang asing yang ketika mereka berjingkrak tak ubahnya sekumpulan kuda. Ini gila.

Tapi syukurlah dengan berada disini, bayang-bayang Alex tak mengikuti. Pemikiranku juga lebih plong, namun cenderung kosong. Benar, aku tak stres memikirkannya saat ini. Tetapi untuk memikirkan yang lainpun otakku tak sanggup. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus ku pikirkan. Bahkan aku tidak tahu bagaimana cara untuk pulang, mengingat kini tubuhku mulai lemas, berkeringat seperti babi berkat berada berjam-jam di tempat terkutuk ini dengan kumpulan babi-babi kota.

Berjalan menerobos mereka. Akhirnya ku dapati pintu keluar tak jauh lagi, hanya tinggal tiga atau mungkin lima langkah lagi dari tempatku kini bergelayut pada tiang tembok sandaranku.

"Marc?! Is that you? What are you doing in this pla..."

DEEP! Suara parau itu kemudian hilang direnggut keheningan ditelingaku. Mataku terasa nyaman hanya untuk terpejam, lagi berat untuk dibuka, jadi aku pasrah terpejam. Ku rasakan pipiku menempel dilantai, itupun aku tak yakin jika aku terjerembab dan kini memeluk lantai, yang membuatku yakin hanyalah dinginnya lantai saat itu serasa menyusup hingga ke tulang pipiku.

Dan keesokkan harinya setelah kejadian malam liar itu, kini aku terbangun diranjang hotelku. Tanpa tahu siapa yang membawaku pulang. Tapi ku urungkan pertanyaan itu sebab melihat sepasang mata menatapku cemas dari muka pintu, Diana. Dan Alex yang telah duduk di tepi ranjang menghujam mataku seolah mengintimidasi.

"Apa yang kau lakukan semalaman dengan..." tanya Alex terputus kemudian melirik tajam pada Diana. Sontak membuat gadis lugu itu sedikit takut dibuatnya.

Alex berdehem. "We will talking about some private things. So, did you mind if you go out and close the door?" (kami akan bicara soal beberapa hal penting. Jadi keberatankah jika kamu keluar dan tutup pintunya?) tanya Alex pada Diana.

"Sí, lo siento." (Ya, aku minta maaf) kata Diana dengan tersenyum ramah dan segera menuruti perintah.

"Gracias." jawab Alex singkat sembari memutar matanya agar kini dapat melirikku.

Suara derit pintu tertutup, mengakhiri pandanganku pada gadis itu. Sekaligus mengawali pembicaraan Alex yang kesannya sangat serius. Aku bersumpah, jika ini perkara kegay-annya aku akan kembali stres dan obatku keluyuran ke club malam ditambah mabuk-mabukkan, tak akan ampuh dan kembali membebaniku.

Ku sadari ke club, mabuk-mabukkan itu adalah solusi para orang dewasa untuk melupakan masalah mereka. Namun itu bukan penyelesaian masalah yang terbaik. Tak dapat dipungkiri lagi kebenarannya, aku hanya pernah sesekali ke club malam, tidak sering, itupun bisa dihitung jari.

"Marc. Semalam kau ada dimana? Dan apa yang kau lakukam" Alex mengintimidasiku.

"What do you care?" jawabku malas-malasan sembari menyeka mataku yang perih.

"JELAS AKU PERDULI!!?? Jika kau tak pulang dengan Luca akan lain persoalannya!"

Telingaku serasa panas detik itu juga. Apa dia bilang? Luca? Jadi Luca yang mengantarku semalam? jangan sampai hal sepele ini membuat Alex cemburu. Karena aku sumpah mati tidak dapat membayangkannya.

Oh, tidak! Kurasa aku bisa. Kini Alex mengeram lirih. Bibirnya membentuk garis senyum namun diputar tiga ratus enam puluh derajat. Bibirnya mengkerut seperti anak kecil yang marah ketika tidak dibelikan balon. Begitukah ekspresinya ketika cemburu perkara pacar gay-nya? Yang benar saja!

"OH SHIT! NO?!!" bantahku. Kendati aku tak tahu apa yang terjadi setelah terkapar kemarin malam di lantai club.

***
How is it?
Thought?
Vote?

Maaf lama nggak update ini perkara authornya sedang galo. ¿Maklum anak SMA? Bercanda! Vote ya aku typewrittingnya di HP, malam-malam lagi.

Stay read! :)

©IGNITE. Chapter 0.8 already released.

IGNITE. (Marc Marquez)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang