Chapter 19

434 36 11
                                    

Song of this chapter:
Dimitri Vegas ft. Like Mike-Stay a While
      
       
    
***
   
  
Diana's POV
     
     
   
Seperti biasa, Marc selalu tersenyum pada setiap orang yang berada dihadapannya. Tepat didepan pintu kamar hotelku, dia berdiri mengulas senyum, sedangkan aku harus berlarian kecil untuknya.
     
     
    
Terasa aneh, ketika aku berpikir mungkin ini terlalu malam untuk bertemu dan berbincang dengan seseorang, jika hal tersebut bukanlah hal yang kelewat penting dan harus disampaikan segera. Salahku, karena tidak menemuinya sesuai dengan perintah disurat yang ditulisnya. Tetapi melihatnya seperti ini, menungguku. Membuatku semakin merasa bersalah.
    
    
    
   
“Darimana saja?” tanya Marc, sebelumnya ku dengar ia berdeham.
     
     
Aku tersenyum kaku. “Seperti biasa, aku masih berusaha mencari Jupri.”
     
   
      
Matanya terbeliak, seolah itu adalah hal yang sama sekali tak terpikirkan olehnya. “Ini sudah malam dan kau masih mencarinya?”
     
    
    
Aku mengangguk mantap. “Iya, akan ku lanjutkan besok pagi.” Jawabku dengan nada sedikit pesimis. Teringat bahwa besok aku akan pergi mencari Jupri bersama Luca, kendati aku mewanti-wanti jika pria berambut pirang itu akan membohongiku lagi dengan alasan yang tak dapat ku mengerti.
    
    
   
“Aku akan menemanimu besok.”
     
     
    
“Eh, tidak perlu. Luca telah berjanji akan menemaniku besok.”
    
    
     
“Luca? Luca Marini?” tanya Marc dengan nada naik satu oktaf tanpa disadarinya.
     
     
      
Aku mengangguk pelan, mengernyitkan dahi, dan menemukan kejanggalan pada dirinya setelah detik itu.

    
    
    
“Bagaimana bisa kalian..? Maksudku.. Kau dan Luca…??” suaranya nyaris lenyap dan aku tidak mengerti mengapa Marc bersikap seperti ini.
     
     
    

Aku menggumam, tidak yakin bahwa penjelasanku penting untuk diketahuinya. “Aku telah mengenalnya sebelum kita berangkat ke Ibiza.”
     
   
    
    
“Bagaimana bisa? Kapan??” tanya Marc tampak agresif dan penasaran. Aku bersumpah bahwa detik ini aku mulai tidak mengerti arah pembicaraan kita berdua. Berawal dari mencari Jupri dan kini awal mula bertemu Luca Marini.

     
     
“Hanya sebuah kebetulan berjumpa dengannya di elevator.” Jelasku, tergelak singkat, mengingat bagaimana kami dapat bertemu. Ku kira Luca adalah pria dingin yang angkuh, juga tampak sangat membenciku. Tetapi salah besar, karena kenyataannya adalah kebalikannya.
    
    
     
    
Ku lihat bibirnya sedikit terbuka, desahan kecil lolos dari sana, ia tampak ragu untuk bertanya selanjutnya namun sorot matanya yang lekat menatapku tak dapat berdusta.
    
   

“Kalian…?” ucapnya terhenti. “Okay, lupakan soal Luca. Aku hanya ingin tahu apakah alasanmu tidak datang menemuiku karena memilih untuk menemui Luca?”
    
    
    
    
Benar, sekaligus salah. Marc sedikit mencondongkan tubuhnya kearahku, menunggu jawaban. Sementara pikiranku tengah berkelit, bagaimana bisa pertanyaan Marc begitu mengusikku.
    
     
    

“Ah, apa?”
      
     
    
   
“Kau tidak menemuiku dan lebih memilih untuk menemui Luca, apa itu benar?”
     
    
    
   
“Benar, aku menemui Luca. Tetapi untuk menemukan Jupri. Maksudku, dia tahu dimana Jupri berada.. Mungkin.” Jawabku. Oh, betapa jawabanku terdengar tidak relevan.
     
     
     
   
Marc mengangguk pelan, memicingkan matanya, tetap melihatku. Aku menelan ludah dan berusaha untuk bersikap sewajarnya. Hal yang paling bodoh dan terkonyol yang beberapa saat terlintas dikepalaku adalah mungkin Marc menyukaiku dan saat ini ia tengah cemburu. Menggelikan bukan? Terkadang aku butuh menampar diriku sendiri yang telah berpikir irrasional.
     
     
    
   
“Boleh aku bertanya satu hal lagi?” tanya Marc, terkesan kaku, disamping itu begitu menyita seluruh pikiranku.
    
    
    
Aku hanya mampu mengangguk kecil, melihat dari balik bulu mataku bahwa Marc menatapku dengan tatapan yang berbeda dari biasanya, atau mungkin hanya perasaanku saja. Aku benar-benar tidak memiliki gagasan dengan perasaanku saat ini juga, semuanya sangat aneh, terasa sesak mendesak rongga dadaku.
     
     
    
   
Aku telah sering mengkhianati diriku sendiri bahwa aku sangat menyukai perlakuan baiknya terhadapku, aku tahu tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi dia adalah Marc Marquez. Semua gadis akan jatuh cinta disaat pertama kali melihatnya, tak terkecuali aku. Ditambah dengan sikap baiknya, tawa renyahnya, dan segala yang ada dalam kepribadiannya.
      
      
     
Potonglah rumput liar itu sebelum ia tumbuh menjalar, hilangkan apapun perasaanmu itu sebelum ia semakin besar, atau kau akan merasakan sesaknya kecewa suatu hari nanti, Diana.
     
    
    
Lagipula, kau telah bertunangan dengan Jupri, merasa cintalah hanya padanya, kendati saat ini ia berada diantah berantah hingga kau nyaris lelah untuk menemukannya. Betapa kecewanya Jupri padamu jika ia mengetahui. Ingatlah Diana, Jupri adalah cinta pertamamu, tidak akan pernah ada cinta yang kedua-ketiga atau yang lainnya.
    
    
     
    
“Siapa Jupri sebenarnya? Mengapa dia seolah begitu berharga bagimu lebih dari apapun?”
     
    
   

Teman. Aku pernah berbohong dengan menjawab seperti itu pada Marc dan aku menyesalinya. Aku tidak mau berbohong untuk kedua kalinya, lagipula tidak akan ada yang berubah setelahnya.
     
    
    
    
“Dia adalah tunanganku.” Jawabku dengan suara yang cukup jelas namun Marc memintaku untuk mengulanginya.
    
   
   
   

“Katakan.. Lagi.”
      
     
    
    
“J-jupri adalah tunanganku, kami seharusnya menikah.. sebentar lagi. Aku harus bertemu dengannya.” Jawabku tersendat, suaraku nyaris lenyap sebab tenggorokanku seolah tersekat oleh air mata yang jatuh mengalir tanpa kendali. Bodoh, bahkan aku tidak tahu kapan aku menitikannya, yang ku tahu mereka telah basahi pipiku, dan membuatku cukup malu didepan Marc.
     
     
     
     
“Aku takut kehilangannya.” Lanjutku, setelah Marc bertanya dengan cemasnya mengapa aku menangis.
    
    
   
Ya, ini adalah kedua kalinya aku menangis didepannya setelah hari itu. Hari dimana malam begitu kelabu, awan seolah menyekap bulan purnama, dan saat itu ku ingat betul Marc melarikan tangannya untuk mengusap air mataku, aku tersentak kaget akan sentuhan jemarinya dipipiku, namun saat itu hatiku begitu hancur dan tak dapat mengelak bahwa aku membutuhkan dirinya. Tapi kini ku lihat ia urung untuk melakukan hal yang sama dan aku tahu jelas apa alasannya.
     
     
     
    
Aku takut kehilangannya. Benar, itu adalah jawabanku kepada Marc saat ia bertanya mengapa aku menangis. Andai dia tahu bahwa sesungguhnya jawabanku itu tertuju padanya. Aku takut kehilangannya. Aku takut kehilangan Marc.
     
   
   
***
     
     
     
Aku terbangun di pagi hari dengan pelupuk mata yang sukar untuk ku buka. Ku lirik jam dinding menunjukkan pukul empat lebih enam belas menit. Aku memberengut kecewa dengan dagu yang masih menempel dibantalku. Ah, aku melewatkan sholat malam. Waktu dimana setiap doa bagaikan anak panah yang melesat tepat pada titik tujuan.

    
   
Tubuhku lemas, namun aku berusaha bangkit, menjauhi matras. Kemudian berlarian kecil menuju kamar mandi, dan segera mengambil air wudhu. Menyalakan keran, sebelum menyingsing kedua lengan bajuku, merasakan dinginnya air mengalir seolah menembus dan menyusup tulangku, menangkup air yang jatuh dalam telapak tanganku. Merasakan sejuknya air dalam seketika disaat aku mengguyurnya pada wajahku. Saat itupun aku masih teringat akan dia. Marc. Aku tidak akan pernah menyesal telah mengenalmu. Yang ku sesali hanyalah mengapa begitu mudahnya aku jatuh cinta kepadamu.
   
   
    
***
     
    
    
    
Luca’s POV
    
     
     
Aku berdecih kesal ketika menangkap suara dering nyaring berasal dari handphoneku. Biadap! Siapa yang telepon malam-malam begini?!
   
 
    
Dengan langkah gontai aku berjalan menuju sumber suara, sialnya semalam aku sangat kelelahan dan tak sempat meletakkan handphone dimeja dekat matrasku. Alhasil kini aku yang tengah mengantuk berat dengan mata yang masih terpejam, berusaha kerasa menemukan handphoneku dengan meraba-raba setiap saku yang ada dijaketku.
     
     
     
   
“Emmm..” aku menggumam, menyahuti telepon itu tanpa sempatkan untuk membaca nama kontak yang kini tengah menghubungiku.
     
    
    
   
Maaf, aku tahu ini tidak sopan untuk menghubungi seseorang sepagi ini..” jelas seseorang yang jauh disana. Sontak detik itu, mataku terbelalak lebar tersentak kaget mendengar suara yang begitu familiar dipendengaranku.
     
     
    
   
“MARC?!”
     
     
      
***
Hola! Nulis chapt ini penuh dengan perasaan nano-nano, entahlah.
    
   
Merasa bersalah juga karena udah lamaaaa nggak update. Ujian UN berakhir beberapa hari yang lalu dan aku malah sibuk dengan kehidupan nyataku.
    
    
   
Dan pas baca komentar Marquezistas disini seperti memberi moodbooster tersendiri buat aku. #LAY
    
   
    

HA’HA’HA’. Juga, aku selalu ragu pas event apa aku naruh bagian Diana dan tokoh Jupri ketemu. Karena itu sangat berrathh.. mengingat author sendiri sampai saat ini belum ketemu Jupri yang asli. #PLAK
     
   
   
Oke, pembicaraan saya mulai ngelantur, diakhiri saja daripada curcol berkepanjangan. Terima kasih sudah sempatkan baca ya para marquezistas.
  
  
  
©IGNITE. Chapter 0.19 Already released.

IGNITE. (Marc Marquez)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang