Chapter 15

616 57 18
                                    


Songs of this Chapter :

Shawn Mendes-Mercy

***
 
 
Diana’s POV
 
 

Aku termangu bersimpuh diatas sajadah. Rasanya aku ingin menangis, tetapi bahkan aku tidak tahu mengapa aku begitu ingin mengeluarkan air mataku. Yang ku ketahui kini hanyalah nafasku yang terengah, membuat dadaku naik-turun, dan aku tak tahu harus melakukan apa selain beristighfar.
 
 
 
Dan tepat ketika pertama kali air mataku jatuh basahi pipi, aku bersujud dan bertahan pada posisi ini, dalam waktu yang cukup lama, bahkan rasanya aku tak ingin bangkit lagi. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam posisi inilah aku merasa sangat dekat dengan penciptaku dan aku merasa semua yang ada dikepalaku, yang begitu membebaniku, semuanya dimengerti-Nya. Dan meringan berangsur-angsur.

 
Ya Allah, maafkan aku. Kau memberikan sepasang bola mata yang sempurna padaku semata-mata agar aku dapat melihat dengan jelas, namu aku malah gunakannya untuk melihat hal-hal yang telah kau larang.

  
Dan yang lebih buruk lagi, aku telah melihat itu untuk kedua kalinya. Semuanya karena Marc. Tetapi yang terakhir ini begitu mengerikan. Mengapa pula aku harus berada disana?? Mengapa aku harus melihatnya? Apakah Marc sengaja?? Agar aku tahu tanpa perlu ia menjelaskan?? Sungguh menyedihkan, tak beradab dan aku tidak habis pikir bahwa pria tampan itu adalah gay, padahal aku sempat sedikit menyukainya, Ya Allah. Benar, Engkau Maha Baik Tuhan, KAU tunjukkan keburukkannya sebelum aku benar-benar menyukainya. Dan benar pula firman-Mu Ya Allah, ‘barangkali sesuatu yang ku sukai itu buruk untukku’

 
  

Buruk! Konyol sekali! Dulu aku selalu mengelak perasaan ini karena aku sadar diri, siapa diriku dan siapa Marc Marquez Alenta itu. Aku selalu bercermin, tak pernah berusaha memantaskan diri untuk sepadan dengannya karena itu memang mustahil. Dan setelah melihatnya kemarin, ruhku bak dihantam oleh palu godam, menyaksikan Marc dengan adiknya sendiri melakukan hal yang bahkan hewan yang tak berakalpun tak sudi melakukannya.

Ya Allah, apa yang harus ku lakukan? Bagaimana aku harus bersikap pada Marc setelah hari itu? Aku rasa aku tidak bisa berlagak baik-baik saja, mengumbar senyum palsu setipis apapun itu. Aku tidak bisa.

 
 
Bagaimana jika aku mengundurkan diri saja dari guru private bahasa, lagipula aku merasa tidak becus dan sama sekali tidak professional, itu lantaran tujuan awalku datang ke Spanyol bukan untuk menjadi guru bahasa atau apapun itu, satu-satunya alasanku adalah untuk mencari Jupri. Hanya itu.

Dan kini, aku telah berada di Ibiza, itu artinya aku semakin dekat. Sebentar lagi pasti aku akan bertemu dengan Jupri, aku hanya perlu berusaha lebih lagi dalam mencarinya. 
  
 
  
Suara ketukan pintu membuatku terperangah kaget. Kini aku beranjak berdiri dan berjalan perlahan kearah pintu. Ketukan pintunya semakin keras beringas, membuatku semakin was-was jika seseorang dibalik pintu sana adalah Marc, maka aku bersumpah aku akan mati kutu atau mungkin langsung mengutarakan niatanku untuk mengundurkan diri tanpa berpikir panjang lagi.

 

Hola
 
  
Mendengus lega, kini aku tersenyum melihat sosok pria berwajah khas timur tengah dan bukan Marc.  
 
  
“Assalamualaikum, Darren.”
  
  
“Waalaikumsalam.” Ia terkekeh.
  
 
“Ku rasa, aku telah mengganggumu, kau akan sholat?” tanyanya sambil menunjuk mukenah yang ku pakai.
 
   
“Aku sudah selesai.” Jawabku, tersenyum seramah mungkin pada asisten Marc. “Ada apa Darren?” 
 
 
 
“Oh, ini kau dapat surat!” Darren menyodorkan secarcik surat terkesan tak resmi karena tak beramplop.

   
“Dari Marc??” tanyaku, gelisah. 
 
 
“Yup! Tentu, kau berharap dapat pesan dariku ya?” Darren tergelak sedangkan aku hanya dapat tersenyum dan menggeleng pelan. 
  
   
“Baiklah, gracias.” Dengan itu aku langsung menerima surat ditangannya dan menutup pintu, ku lakukan itu dengan gerak cepat. 
 
 
“D-diana..” panggil Darren, ketika pintuku telah nyaris ku tutup. 
  
 
“Ya? Maaf, apa masih ada yang ingin kau sampaikan, Darren?” tanyaku, namun pada detik lamanya, ia masih terdiam, kemudian ku dapati roman wajahnya berubah gelisah seolah ia adalah manusia paling kesusahan didunia ini. Entahlah apa  yang telah mengguncang perasaannya hingga bermuram durja seperti itu. 
  
 
 
Mendengus, ia kini menatapku lekat-lekat. “Marc, dia tampak begitu kacau.” 
 
 
  
“Eh?” aku benar-benar tidak memiliki gagasan harus menjawab apa, bahkan aku belum dapat mengartikan ucapan Darren, apa yang dimaksudnya dengan mengatakan ‘Marc, dia tampak begitu kacau’.

IGNITE. (Marc Marquez)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang