10. Stuck in Elevator

910 65 27
                                    

Song of this Chapter :
The Vamps- I found a girl
***

Luca's POV

Entah angin apa yang membawanya kemari. Namun aku cukup senang dikunjunginya pagi ini. Setelah mengetahui bahwa hari ini adalah hari minggu, kedatangannya yang semula ku pertanyakan jelaslah sudah.

"Luc, cepat mandi, pakai baju yang rapi. Ku tunggu tiga puluh menit dari sekarang!"

"Valey?" gumamku dengan sedikit menguap, aku masih nyaman berlama-lama diatas ranjangku.

Ku lirik jam dinding tunjukkan pukul 07.00. Bukankah ini terlalu pagi untuk pergi ke Gereja? Apa dia mengajakku lari pagi terlebih dahulu sebelum ke Gereja. Valey kelewatan rajin!

"Luca? Wake up!" Valentino duduk ditepi ranjang sambil melipat kedua lengan tangannya didada. "Aku tidak ingin terlambat, Gereja Katedral menunggu, Luc."

Sulit bagiku untuk membuka mata, aku seolah pasrah dengan kantukku. Biarlah dicap pemalas oleh Valentino, kini aku benar-benar lelah. Aku juga muak untuk bangun dari tidur dan menjalani hidupku hari ini. Aku muak mengingat semalaman Alex merengek dikamarku hanya untuk mengadukan sikap Marc yang menentang keras hubungan kami. Dengan mata nanar Alex menatapku. Bibir tipisnya merutuki Marc seolah-olah ia lebih mencintaiku daripada kakak kandungnya sendiri. Tampak gurat kesedihan diwajah pucatnya namun masih saja ia kekeh mempertahankan hubungan ini. Hubungan hambar ini. Sedangkan aku sempat berpikir, cepat atau lambat hubungan aneh ini harus berakhir. Ku kecup keningnya dan kemudian ia menitikan air mata. Detik itupun Alex tersenyum. Tatapan nanarnya semula berganti dengan tatapan penuh cinta.

Melihat Alex masih bersedih, aku jadi tidak tega memutuskannya. Entah sampai kapan ini akan berlangsung, aku sudah tidak sanggup. Maka dari itu aku memilih habiskan waktuku seharian ini untuk tidur, itulah rencanaku.

Take a long nap. Untuk sekedar melupakan bahwa nyatanya aku tidak bisa menerima kenyataan dalam hidupku dan ku rasa tak lagi dapat melanjutkannya. Dan tidur adalah solusi paling tepat bagiku untuk saat ini, dimana aku bisa leluasa bayangkan impianku menjadi nyata tanpa ada batasannya, kendati sebatas lamunan sepi keinginan hati. Tentang hidup yang seharusnya dan yang ku impikan sedari dulu.

Seperti yang ku lakukan sekarang. Kini ku bayangkan aku berada di kamar ini bersama Marc, dengan kaus lengan pendek V-neck, Oh, Lord he's gorgeous its hurts (dia tampan sungguh menyakitkan).

Membuatku bahagia bukan kepalang, ia berikan tatapan penuh cinta dan ku balas demikian. Ku larikan kedua tanganku untuk menangkup wajahnya. Kemudian ia condongkan tubuhnya mendekat padaku. Semakin dekat. Hingga membuat dadaku naik turun, mengontrol napasku yang mulai terengah, nyaris mengilang. Dan kini ku sadari bahwa mulai detik ini aku tidak dapat bernapas sama sekali.

"Bangun atau ku jepit hidungmu sampai mati!?"

Aku megap-megap. Oksigen! aku menarik napas melalui mulutku. Dan sontak aku belalakkan mata lebar-lebar, memohon pada Valey dengan suara seperti banci karena kini ia memencet hidungku dengan penuh nafsu ingin membunuhku. Kakak macam apa dia? Oh, Dasar kakak tiri!

"Onghe.. Onghe..! Lepasnghan!!" teriakku menderita, detik itupula akhirnya ia melepaskan siksaannya terhadap hidung mancungku.

Dengan mendesah, aku mulai angkat bicara. "Valey.. Aku izin tidak datang minggu ini, hanya untuk minggu ini, okay?" gumamku.

"Izin?! Apa-apaan itu??!!" Bentaknya, memekikkan telingaku. "BANGUN, MARINI PEMALAS!?!"

Ku rasakan tangan dinginnya mulai mengkoyak dan mengguncang-guncang tubuhku. Sialan! Satu hal yang ku benci darinya adalah kediktatorannya yang melampaui Deandels.

IGNITE. (Marc Marquez)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang