Song of this Chapter :
Shawn Mendes-The Weight
***Valey's POV
"Valey, dimana kain putihnya?"
Itulah pertanyaan menohok dari Luca setelah ia sadar dari tidurnya, bukannya menanyakan dimana dirinya sekarang seperti orang yang dirawat inap pada umumnya. Ia malah mempertanyakan sebuah kain putih yang sedikitpun tak dapat ku mengerti. Di ranjangnya ia menggeliat gelisah, matanya menyapu kesegala arah tapi yang ia tanyakan padaku masih seputar kain.
"Hei! Bicara yang jelas?? Kain putih apa?? Kain kafan?!?" bentakku.
"Kain putihhh!" Luca mengotot sambil memegang kepalanya tapi aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak mengerti dengan maksudnya sekalipun ia gunakan bahasa isyarat.
"Grace, panggilkan suster!" suruhku pada asisten pribadiku.
"Kain putih.. Oh, aku bersumpah jika pihak rumah sakit membuangnya maka aku akan menuntut mereka!!!" Luca beringas tak jelas.
"Sudahlah, Luca. Grace masih panggilkan suster. Minumlah, tenangkan dirimu." pintaku sambil menyodorkan segelas air putih padanya.
Dia pasti telah bermimpi. Mimpi buruk. Sebab telah dua hari penuh ia terbaring di Rumah Sakit, tak sadarkan diri. Membuatku sungguh menyesal, mengingat terakhir kali bersama dengannya, aku sedang dalam keadaan marah besar atas tuduhanku terhadapnya. Tuduhan yang konyol. Mana mungkin Luca seorang gay? Lihatlah wajahnya, jelas-jelas normal, tampan, dan sarat akan keimanan, tak sedikitpun terlihat ada gurat-gurat melenceng.
Ku seka matanya. Sungguh aku tidak tega melihatnya. Semua ini terjadi akibat kesalahanku yang tak becus sebagai kakaknya. Oh, aku kakak tiri yang jahat.
"Luca maafkan aku," ucapku berat, mungkin sebab ini adalah yang pertama kalinya aku mengucap maaf pada seseorang.
"Maaf telah menuduhmu.. Gay." lanjutku dengan membuang muka darinya. Ini terasa konyol bahwa aku telah menuduhnya pria pencinta sesama jenis.
Ku lihat Luca menyeringai. "Eh, Iya?" kemudian ia menggaruk-garuk kulit kepalanya, yang ku yakini tidak gatal. "Aku memang bukan. Bukan gay."
"Hola, boleh kami masuk?" tanya seseorang dari muka pintu.
***Luca's POV
"Oh, Alex, Marc. Come in!" Valentino tersenyum sumringah melihat kedatangan kakak beradik itu. Sedangkan aku menggeliat tidak nyaman diranjangku.
Astaga, pacar dan calon pacarku datang menjenguk!! Bisa kalian bayangkan? Ingin tak sadarkan diri kembali rasanya.
"Bagaimana keadaanmu, Luc? Sudah lebih baik?" tanya Marc, tersenyun manis. Ia berdiri diantara Alex dan Valey. Ia terlihat paling pendek sendiri, justru itulah yang ku suka darinya.
Ini adalah yang pertama dan akan menjadi yang terakhir kalinya, ia menjenguk dan berikan perhatiannya padaku, lain halnya jika setelah ini aku sering suguhkan kakiku untuk dicabik-cabik kumpulan cobra, maka Marc akan lebih sering datangiku.
Mengerjapkan mata, ku segerakan untuk menjawabnya. "Terkadang jika dirasakan, akan terasa sangat sakit, tapi ku coba untuk tidak memperdulikannya." jawabku dan hanya dijawab anggukan kepala oleh Marc.
"A-aku baru saja sadarkan diri, Marc. Kau datang diwaktu yang tepat.""Benarkah? Jadi Luca koma selama dua hari?" tanya Marc, mengarahkan pandangannya pada Valentino yang kini duduk ditepi ranjang sambil melipat dadanya.
Aku senang bukan kepalang, mendengar perbincangan Marc dan Valey terasa begitu akrab. Ah, lega rasanya melihat kakak dan calon pacarku mulai akur kembali. Namun ku dapati Alex tidak demikian, ia mengerutkan bibirnya hingga meruncing dan tak lepas melirik kakaknya dengan tatapan sinis, seolah-olah ia ingin menelan Marc sekarang juga. Masa bodoh dengan Alex. Kini aku tergelak singkat menatap seorang Marc Marquez. Kapan lagi diperhatikan oleh Marc kalau tidak sedang sakit seperti sekarang ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/80077091-288-k989551.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITE. (Marc Marquez)
FanfictionCerita tentang cinta beda agama. Iremos a un Hotel (Kita pergi ke Hotel) Iremos a cenar (Kita pergi makan malam) Pero nunca iremos juntos al Altar (Tapi kita tidak bisa pergi ke Altar bersama) ©IGNITE. released... Marc Marquez Fanfiction All about m...