Song of this Chapter :
Bruno Mars-Talking to the moon***
Diana's POV
Satu hal yang ku sukai mengenai pantai adalah suara desirnya, mengayun. Memastikan membawa ombak kembali menepi. Menyeruak pergi dan kembali dengan ritme yang sama. Ia selalu kembali.
Aku bergeming. Hanya mampu merasakan permukaan pasir dibawah telapak kakiku. Sebelum kini ombaknya menyerbu lemah, menyibak pertahanan kedua kakiku.
Matahari masih sejengkal dari permukaan pantai saat aku tiba, dan kini mentari menyingsing naik berangsur-angsur sesuai garis lengkung orbitnya. Mengingatkanku akan termin masa yang terbuang sia-sia, jika aku terus membawa lamunan panjangku pada luasnya pantai yang seperti tiada ujungnya.
Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada Marc? Oh, ayolah siapa wanita yang tidak jatuh cinta melihat ketampanannya?
Jupri, dia tunanganku..
Dalam kemelut ini, bibirku kelu untuk sekedar mengutarakan kenyataannya.
Sedangkan, gadis batinku memberengut kecewa, berdecih bahwa berbohong satu-dua kali pun tak akan serta-merta menyeretmu ke neraka...Diana.?!
Disisi lain, akal sehatku mengkhianati keseluruhannya.
Aku berkelit, menepis oponen dipikiranku, dan meraih handphoneku dari dalam saku dengan gerak cepat. Menghubungi seseorang yang rasanya tepat untuk ku hubungi saat ini. Tak memakan durasi lama, pada bunyi beep ketiga, seseorang yang jauh disana mulai berbicara.
"Diana?"
Entah hanya perasaanku, tetapi aku merasa bahwa Marc telah meninggikan suaranya, satu oktaf lebih tinggi dari biasanya, seolah-olah ia tak percaya bahwa aku telah menghubunginya. Sungguh, akupun demikian. Tidak percaya bahwa kini aku memiliki keberanian untuk itu.
"Eh.. Marc.." panggilku dengan suara yang nyaris lenyap. "Apa kita dapat bertemu? Ku rasa ada yang salah. M-maksudku, a-aku ingin mengatakan sesuatu, Marc."
"Baiklah. Katakan saja, ada sepuluh menit tersisa sebelum penerbangan."
"A-apa..?"
Penerbangan?
"Ya, aku harus kembali ke Madrid. Maaf tidak memberitahumu, ini memang mendadak." Jawabnya, terdengar begitu kaku, bahkan dingin. "Ada yang lain?"
"Eh? Tidak.."
"Oke." Ucapnya tegas, pada jarak radius yang tak dapat ku tentukan, aku mendengar suara desahan pasrah, kemudian ku dengar ia bergumam singkat. "Temui Luca, ku pastikan ia akan menemukan... Juprimu... untukmu." Lanjutnya sebelum kini sambungan telepon terputus.
Temui Luca, ku pastikan ia akan menemukan.... Juprimu.. untukmu. Sungguh itu terdengar menyedihkan bagiku, disaat aku berharap Marc akan mengatakan 'sampai jumpa' atau yang lainnya.
Rasanya, Marc telah tak peduli lagi padaku? Memang siapa diriku ini hingga aku berharap rasa simpatinya..
"Marc, aku mencintaimu, sungguh. Tapi aku benar-benar takut dengan segala resiko jika aku benar-benar jatuh cinta padamu. Marc! Ku mohon katakan sesuatu! Apa yang harus ku lakukan?! Aku mencintaimu! Aku mencintaimu!" Kataku dengan suara yang semakin lantang disetiap suku katanya.
Itu akan menjadi yang terakhir kali aku mengatakannya. Pada sambungan telepon yang telah diakhirnya, barulah aku berani mengatakan apa yang sedari tadi tertahan ingin ku katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITE. (Marc Marquez)
FanfictionCerita tentang cinta beda agama. Iremos a un Hotel (Kita pergi ke Hotel) Iremos a cenar (Kita pergi makan malam) Pero nunca iremos juntos al Altar (Tapi kita tidak bisa pergi ke Altar bersama) ©IGNITE. released... Marc Marquez Fanfiction All about m...