Chapter 9

756 59 27
                                    

Song of this Chapter :
Harry Styles- I'll be ready

Luca's POV

Ada lubang dalam ulu hatiku. Lubang kecil yang berhasil membuatku ingin mati detik ini juga. Perasaan bersalah seharusnya meliputiku tapi nyatanya tidak. Aku berbahagia dengan ini.

Aku bahagia dengan situasi ini. Aku bahagia bersama Alex, walaupun sedikitpun aku tidak mencintainya. Benar, ku katakan lagi bahwa ini adalah kedustaanku. Aku tidak mencintainya.

Dan perasaan bersalah itu tak kutemukan. Aku telah membuat adik seorang Marc Marquez menjadi gay. Bahkan aku telah menyembunyikan suatu hal dari Alex bahwa kenyataannya aku memiliki sedikit ketertarikan pada Marc. Sedikit.

Atau mungkin aku salah. Aku mencintai, mengagumi, dan menginginkannya. Malam kemarinlah perasaanku terhadap Marc semakin membuncah.

 Malam kemarinlah perasaanku terhadap Marc semakin membuncah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ya, malam itu. Saat ku temukan Marc tepar di club malam seorang diri. Ku buat waktu seolah memihak pada kami. Aku tak bisa sembunyikan seringaian bajinganku malam itu ketika menggendongnya dipunggungku. Manis sekali. Aku tak bisa berhenti tersenyum membayangkan kejadian itu. Dimana aku berlarian kecil menghindari orang-orang yang hilir mudik di muka pintu club. Terus berlari seolah-olah aku adalah penyelamat hidupnya, menerobos area parkir yang gelap sembari menggendong tubuhnya yang kecil, dan rasa aku ingin selamanya seperti ini. Melindungi dirinya, selamanya.

Sesampainya di aparmentku. Membuka pintu kamarku dengan satu siku dengan susah payah, mendesah lega kini akhirnya aku berhasil menyelamatkannya.

Ku rebahkan ia diranjangku. Ia menggelinjang kenyamanan diatas sana. Menggumam lembut sesekali, kemudian ku dapati ia tersenyum dalam lelapnya. Membuatku detik itu pula ingin menyusul mimpi indahnya, membuatnya semakin indah, sekaligus membuat mimpi-mimpi suciku bersamanya menjadi nyata.

Oh, Marc. Bahkan saat ia terlelap wajahnya begitu meneduhkan. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Alex, yang selalu mengangakan mulutnya dan mendengkur seenaknya membuatku menggelinjang tak nyaman tidur disisinya.

Ku usap pipinya. Its been my dream! My wild dream, clearly! Tuhan tahu apa yang ku lakukan, dan ku harap tuhan memaklumi rasa cinta ini. Jesus, tampan sekali dia! Seperti bayi malaikat yang tidur nyenyak di atas awan putih. Ku kagumi ia dari ujung kuku kaki hingga helai-helai rambutnya. Menyalakan segalanya. Hasrat, haru, dan kehidupan. Tuhanpun akan mengutuki jika ku kotori malaikat tak berdosa diranjangku ini. Dia kakak dari Alex, tapi sama sekali tidak sama caraku memandang keduanya. Tak sampai hati aku menyentuhnya. Beruntunglah wanita yang akan diciumnya suatu hari di Altar Gereja, pernikahan dua insan yang normal tidak sepertiku.

Aku merasa kotor detik itu. Ku sesali segala hal yang sedari di perjalan ke apartment, saat-saat membayangkan apa sajakah yang akan ku perbuat dengan tubuh Marc yang tak sadarkan diri. Aku cinta dan muak dalam waktu yang bersamaan. Aku benci pula pada Alex, yang nyatanya dengan menjalin hubungan dengan dirinya tak membuatku kunjung puas untuk sekedar pelipur laraku lantaran Marc terlalu tinggi, dan tak mungkin ia dapat membalas apa yang aku berikan. Cinta dari seorang gay? Tidak mungkin, 'Marc normal' ku ucapkan kalimat itu berulang tak ubahnya seperti sebuah mantra.
Alhasil, aku menangis sejadi-jadinya. Aku teringat Alex!

Pria yang selalu ku inginkan. Dan satu-satunya. Marc. Dia adalah orang yang tak pernah memandangku lebih dari tiga puluh detik. Namun aku tetap mencintainya.

Seperti serigala yang jatuh cinta pada seekor domba. Serigala yang sesat.

Dengan penuh berat hati ku pulangkan Marc. Seperti seorang pemenang lotre yang mengembalikan prize dari mimpi sejuta dolarnya. Dengan berakhirnya perjalanan menuju Hotel Emperador tempat tinggalnya ini, ku harap berakhir pula cerita cinta antara aku dan Alex. Ya, aku yakin aku memang harus putus dengannya. Karena bersama Alex pun tak berhasil membuatku melupakannya.

Apa aku harus mencoba dengan papa Julia??!!

***

Diana's POV

Aku termangu. Sedangkan Alex tak peduli. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah playstationnya. Ia menghadap TV tanpa berkedip sedikitpun, dengan mulut sedikit menganga, ia begitu optimis ia akan menang. Tentu saja.

Sedangkan aku duduk disampingnya dengan malas-malasan memegang stick. Entah bagaimana cara kerja permainan itu. Gambarnya tampak seru, game para pria yang sedikitpun aku tidak tertarik.

Pasalnya dua puluh menit yang lalu, Alex memaksaku untuk tanding main game dengannya, awalnya aku menolak tapi ia merajuk, sungguh memaksa. Dengan mengangguk pasrah, akhirnya gelak tawanya muncul.

"Eh.. Diana tapi kau harus kalah ya?!" itulah permintaannya sebelum game dimulai.

Aku mengerjapkan mata. Permintaan terkonyol yang pernah ku dengar. Dengan mengangguk ku turuti permintaannya.

"Yess... Jajajaja Getcha! I win! Kau payah sekali! Kau harus sering latihan! Cepat sekali kau kalah. Hahaha payah.. Sini ku ajari.. Tekan ini, kemudian ini." jelas Alex dengan bangganya.

Alex benar-benar manusia paling ridicolous yang pernah ku temui. Dia sendiri yang memintaku kalah, tapi setelah itu dia mengejekku. Benar-benar tidak masuk akal!?

"Hei.. Marc!" panggil Alex ketika mendapati Marc baru saja keluar dari kamarnya. "Diana payah bermain game ! Kau harus memecatnya!"

Alex!!?? Mahluk apa dia ini??

"Main game saja tidak becus, apalagi mengajar bahasa Indonesia, ganti sajalah,"

"Dan lagi, aku tidak pernah melihat kalian memulai pelajaran."

Astaga Alex benar..

"A-aku minta maaf, Marc.. Aku."

"Sudahlah, tak perlu minta maaf ini sepenuhnya salahku, aku yang tidak terlalu niat dari awal." jelas Marc sambil membawa segelas air putih dari dapur. Kemudian tepat disisiku berdiri, Marc meneguk segelas air putih itu sambil berdiri. Aku terpana, melihatnya minum seraya dongakkan kepalanya. Dan serasa aku dapat melihat air putih yang diteguknya mengalir melewati leher putihnya. Sontak membuatku menelan air ludah. Ku palingkan pandanganku darinya dan mulai mencoba berpikir jernih.

 Ku palingkan pandanganku darinya dan mulai mencoba berpikir jernih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini sepenuhnya adalah kesalahanku.. Aku.. Terlalu sibuk mencari Jupri di Madrid hingga lupa tugasku. Maafkan aku."

"Ah, soal temanmu itu," Marc letakkan gelas kosongnya dan sandarkan punggungnya pada dinding kemudian menatapku dengan penuh penyesalan, entahlah mungkin karena ia terlupa menyampaikan perihal itu.

"Aku telah mencari informasi tentang dirinya."

"Benarkah? Apa?" tanyaku begitu bersemangat.

"Dia sekarang tinggal di Ibiza."

***

Jupri.. Jupprrii.. Juppprrriii?
Remember him, right?

Si katrok berdarah Spanyol. Jajaja.

Mohon jangan kecewa ya, aku bahas Jupri. Aku lama gak up date karena ikutan lomba karya tulis ilmiah. Sibuk dan tidak menang. Horrey!!

Dan lagi, ada UTS besok sampai minggu kedepan. mohon jangan kecewa ya :) stay read :) ku usahain up date kok.
Te amo Marc

Author : ngemis vote dan comment.

©IGNITE CHAPTER 0.9 Already released.

IGNITE. (Marc Marquez)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang