Luca's POV
Aku meringis menahan sakit di perutku saat mencoba mengulur tubuhku. Berharap bisa meraih ponselku di nakas. Sedikit bergerak menyibak keranjang penuh buah di sana, sebelum kini aku dapat meraihnya. Vale terkantuk di sofa, tak jauh dari tempatku berbaring. Beberapa detik lagi ku yakin ia akan tertidur dan lupa pesan terakhir ibu dan ayah sebelum mereka pergi ke minimarket beberapa menit yang lalu. Lima belas menit lagi ia seharusnya mengurusi administrasi sebelum besok aku sudah diizinkan untuk pulang.
Siapa yang tahu pertemuanku dengannya di salah satu hotel di kota Ibiza untuk singgah sementara, menjadikanku harus berada di kota ini lebih lama. Membuat ibu dan ayah datang, juga membuat Vale harus bolak-balik Alcaniz dan Ibiza. Ia memiliki segudang jadwal latihan yang tidak bisa ditinggal. Dan soal menjengukku, aku tidak yakin itu adalah keinginannya.
Memutar bola mataku darinya, kini aku menatap layar ponselku. Sejurus kemudian, setelah melihati pesan yang belum sempat terbaca, entah mengapa aku tergerak untuk membuka galeri foto di sana. Sejak dihajar Vale hari itu, tidak membuatku gagar otak sama sekali. Walaupun aku berharap hal semacam itu terjadi. Mengingat begitu beringasnya ia menghajarku. Keningku mengerut begitu melihat jepretan fotoku. Terdapat banyak sekali foto pemandangan yang ku abadikan di sana. Mulai dari pantai Ibiza saat sore hari hingga seorang pria tua, yang ku kira mungkin berusia delapan puluh ke atas, sedang duduk seorang diri di pasir pantai. Ia tak benar-benar sendiri, seekor anjing jenis maltese tanpa tali di lehernya, setia menungguinya. Aku mendengus geli. Sejak kapan aku jadi penguntit?
Tetapi ku akui, saat itu aku sangat terusik untuk segera memfotonya. Pasalnya itu sudah keempat kalinya, aku bertemu dengannya secara tidak sengaja. Di tempat yang sama. Dan ia selalu sendiri. Hanya berteman dengan anjing peliharaannya. Jika aku seorang fotografer handal mungkin aku akan memamerkan foto itu dengan judul 'pria tua lajang dan anjingnya'. Ah, tidak! Mungkin 'gambaran Vale di masa depan' lebih tepat.
Detik itu juga aku melirik Vale lagi. Mendengus lelah sembari menyadarkan punggungku kembali. Ku rasa Vale tidak akan menikah. Tampaknya pemikiran seperti komitmen hanya akan merusak karir telah bersarang di kepalanya sedari lama. Dan aku tahu, baginya karirnya lebih penting dari apapun.
Detik kemudian ketika aku menggeser gambar selanjutnya. Aku terbeliak. Sebuah foto dimana aku mencuri kesempatan untuk berfoto bersama Diana. Aku tersenyum menghadap kamera. Sedang Diana, ia tidak menyadari bahwa aku mengabadikan momen itu. Momen dimana kita pergi bersama. Aku tidak bisa mengatakan itu sebagai kencan, kendati aku berharap begitu. Pada kenyataannya, hari itu kami pergi hanya untuk mencari pria bernama Jupri, temannya dari Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITE. (Marc Marquez)
FanfictionCerita tentang cinta beda agama. Iremos a un Hotel (Kita pergi ke Hotel) Iremos a cenar (Kita pergi makan malam) Pero nunca iremos juntos al Altar (Tapi kita tidak bisa pergi ke Altar bersama) ©IGNITE. released... Marc Marquez Fanfiction All about m...