Chapter 26

550 24 11
                                    


Vale's POV





Aku mengerang kesal seraya beringsut bangkit dari sofa kesakitan itu. Aku jenuh telah duduk selama dua jam lebih di sana. Sedang ibu menggeleng dan tak putus menatapku geram. Aku sepenuhnya tahu maksud tatapannya. Ia hanya tak ingin aku membangunkan anaknya yang berambut pirang seperti warna rambut suaminya itu. Sontak mata kami pun beralih pada Luca yang tengah menggeliat kelewat nyaman di ranjangnya.




Ku lihat ibu masih mendengus cemas di kursinya. Sedang aku yang berdiri tak jauh dari ranjang, harus melongok untuk memastikan bahwa kedua matanya masih terpejam rapat. Mendapati Luca masih tidur seperti bayi besar, aku pun menatap ibu seraya mengacungkan jempol padanya. Semuanya aman.




Bau rumah sakit yang menguar telah membuatku muak berada di sini sedari pagi. Sungguh, aku tahu tak ada yang bisa ku lakukan selain sesekali mengitari ruangan persegi ini. Detik kemudian mataku terpatri menatap layar ponsel Luca yang menganggur di dekat bantalnya. Tanpa pikir panjang aku langsung merenggutnya. Membuka dan membaca pesan-pesan tidak penting di sana. Satu hal yang membuatku miris adalah menyadari bahwa ia telah menghapus aplikasi Al-Kitab dari ponselnya. Detik kemudian, aku terusik untuk mengetahui apa yang belakangan hari ini ia lakukan. Jadi aku mengecek galeri fotonya. Tak banyak foto yang menarik. Ia masih berobsesi untuk menjadi seorang fotografer rupanya. Dan detik kemudian, aku tersentak dalam diamku. Ini dia!?



Terang saja, Luca menyukainya. Ku akui, dia wanita asia yang manis.

***

Diana's POV


Langit belum terang benar. Dan aku melihatnya menggelar sajadah di sana, mengangkat kedua tangannya, kemudian bersedekap. Aku menatap secangkir kopi panas di tanganku. Kopi yang sedikit pun belum ku minum. Entah telah berapa lama aku bertahan dalam posisiku seperti ini. Mengingat saat aku menoleh, pria itu sudah tidak ada lagi. Hanya ada sajadah panjang berwarna merah tergeletak di sana. Tak lama kemudian, aku mendengar suara gemercik air di dalam ruang sana. Dengan itu aku langsung menarik kesimpulan bahwa ia sedang mandi.




Aku masih duduk diam di sofanya, mengeratkan cengkraman cangkir di tanganku. Hingga ku rasa, panasnya telah berpindah ke seluruh permukaan telapak tanganku.



Mataku terusik, melihat apa yang ada di luar jendela sana. Matahari yang malu-malu mengintip dari balik gedung-gedung tinggi. Ya Allah, aku benar-benar tidak yakin apakah tindakanku benar. Yang ku tahu aku telah membuat keputusan terberat dalam hidupku. Tinggal seatap bersamanya.




Lima hari yang lalu, aku benar-benar telah memantapkan diri untuk tidur di pinggir jalan. Aku menatap langit, harap-harap aku bisa melalu ini semua. Sejujurnya, aku tidak benar-benar kehabisan uang. Aku bisa saja memesan kamar hotel untuk beberapa hari kedepan. Ya, aku bisa melakukannya, tetapi dengan menggunakan uang itu. Itu artinya aku tidak akan bisa membeli tiket pesawat untuk pulang.

IGNITE. (Marc Marquez)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang