Arzan Rafadinata POV
Kupejamkan mataku. Rasa marah yang aku sendiri tak mengerti kenapa hatiku terasa lelah menghadapi sesuatu yang baru untuk beberapa hari kebelakang. Padahal aku baru saja ingin memulainya dengan segala bentuk keindahan yang ada. Namun, semuanya malah berbanding balik.
Kupijat pelipisku yang mulai terasa semakin pening. Mereka bilang Vanilla kekurangan darah. Di keluargaku, hanya Mami yang mempunyai golongan darah sama dengan Vanilla, tapi tetap saja kami masih membutuhkan beberapa kantong lagi.
"Aku bisa minta Mega juga Mih. Aku rasa Mega juga sama golongan darahnya B+" kataku pada Mami. Tahu sendiri golongan darah B+ itu cukup sulit dicari. B+ juga hanya bisa menerima golongan yang sama. Rasanya kepalaku ingin meledak saja mengetahui Vanilla yang terbaring lemah di atas bangkarnya.
"Ar kamu belum lihat keadaan Seoul kan dari tadi. Kamu lihat dulu gih. Kali aja udah siuman," kata Mami saat aku menunggu proses Mami yang sedang mendonorkan darahnya.
"Enggak, Mi. Bukannya udah ada Cleo?" tanyaku. Mami pun mengangguk.
Jujur saja, aku cukup marah pada Seoul karena tidak bisa menjaga Vanilla lebih baik.
"Tapi Ar, coba gih diliat dulu. Tadi juga kan kata Dokter...,"
"Enggak apa-apa Mi. Kata Dokter Seoul tidak apa-apa," potongku cepat seperti ada kata penekanan saat aku bilang Seoul tak apa-apa.
"Ar dia istrimu. Kamu kan yang sudah bersumpah untuk jagain dia. Mami gak pernah ngajarin kamu ninggalin tanggung jawab kamu ya Ar. Kecelakaan ini bukan salah Seoul. Dia juga korban Ar."
Kuhela napas beratku. Berbeda dengan apa yang Mami pikirkan tentang Seoul. Aku justru berpikir bahwa kecelakaan ini terjadi karena kecerobohannya. Dia sangat ceroboh! Oh tentu saja, untuk menjaga diri sendirinya saja tak bisa. Bagaimana dia bisa menjaga orang lain.
"Ar...," suara Mami membuyarkan lamunanku.
"Cepat kesana. Mami enggak apa-apa kok di sini. Papi udah bilang mau nyusul kesini bawa keperluan Vanilla. Kamu jangan khawatir Ar, semuanya pasti baik-baik aja." Aku lihat air keringat Mami yang berjatuhan karena mungkin saking tegangnya. Dia terlihat tegar pada saat seperti ini. Semuanya dia perjuangan untuk kebahagiaan kami. Terutama Vanilla yang sedikit berbeda dengan kami.
"Yaudah Mih, Ar ke ruangan Seoul dulu," kataku seraya keluar dari ruangan meninggalkan Mami.
Langkahku gontai. Enggan masuk melihat wajahnya meski itu hanya batang hidungnya. Sungguh amarahku saat ini bisa saja meledak jika aku melihat wajah Seoul. Aku seperti membutuhkan sebuah ketenangan yang besar untuk melepas rasa kesal yang menggumpal di dalam dadaku.
"Abang..." Aku melemparkan pandanganku pada Cleo yang tiba-tiba keluar dengan raut wajah yang panik. "Kak Seoul udah sadar. Abang panggilan Dokter, cepetan!" Spontan saja aku menggelengkan kepalaku. Tak mau.
Cleo mendengus kesal. Dia keluar dari ruangan Seoul dengan wajah kesal bercampur panik. Kepergian Cleo membekas di mataku. Apa aku harus melihatnya? Apa aku harus masuk ke dalam? Bagaimana kalau aku malah semakin membencinya?
Prang!
Kudengar suara dari dalam kamar Seoul. Wanita itu! Memang tak ada habisnya membuat masalah. Kubuka pintu ruangannya. Terlihat Seoul yang memecahkan gelas berisi air putih. Dia seperti tengah menggapai-gapai sesuatu dan...,
Prang!
Kali ini dia menjatuhkan vas bunga dari atas bufet. Aku menggeram kesal, berjalan ke arahnya. "Seoul! Apa yang kau lakukan!" Kulihat mata Seoul yang sudah sembab. Dia menangis dan terlihat seperti sedang menarik kakinya dengan susah payah turun dari bangkarnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/80083313-288-k453082.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MY HEARTBEAT COMPLETED
RomanceIsi bab lengkap baca aja! Sahabat jadi cinta? Tapi kenapa Seoul harus menikahi sahabatnya yang sudah memiliki kekasih? Dia tak membalas ciumanku, tapi aku bisa merasakan tangan Seoul yang mencengkram tangan kiriku. Setelah kurasa dia tak bisa bernap...