Chapter 25: Focus

5.7K 399 13
                                    



Seoul Arabillah POV

Kupandangi langit-langit kamar hotel yang kami tempati. Ini hari kedua kami berlibur di Bali, tapi tak ada sebuah tanda-tanda bahwa hatiku bilang siap untuk hamil. Pukul 2 dini hari aku masih belum tidur sementara Ar sudah tidur dengan napas yang sangat tertur. Dia memeluk tubuhku dengan posesif sekali dari belakang. Sedangkan aku sudah beberapa kali mengganti posisi, tapi Ar masih aman dengan alam mimpinya.

Tak sedikit pun dia merasa terganggu karena mungkin Ar lelah karena seharian tadi kami jalan-jalan keliling dengan uang yang Papi kirimkan ke rekening Ar. Kini kubalikkan tubuhku menjadi menghadap ke Ar. Dengan tampannya dia tertidur dengan raut wajah kelelahan. Kucoba mendekat ke arahnya. Menghapus jarak kami dan menyentuh kerutan yang ada di keningnya. Apa aku salah kalau aku ingin menunda? Mereka seperti menunggu waktu aku segera hamil, tapi jauh dari sana hatiku belum bisa tergerak untuk memberikan apa yang mereka minta.

Selain aku belum siap mengurus seorang bayi kecil. Aku juga belum siap kalau nanti aku hamil dalam keadaan kuliah. Apa mungkin aku harus cuti. Rasanya tidak mungkin karena aku baru akan masuk.

"Hmmmmm..., iya Sayangku." Aku tersenyum lebar saat Ar mengigau seraya tersenyum ke arahku. "Bayi kita memang lucu," katanya lagi membuatku rasanya ingin menangis mendengar kata selanjutnya.

Ar selalu bilang, "Santai saja, tidak perlu terburu-buru," saat aku meminta maaf karena belum siap hamil.

Tapi aku rasa Ar memang sangat menunggu-nunggu waktu di mana kami bisa menjadi orangtua. Di mana kita masih bisa menyempatkan waktu luang untuk mengurus seorang anak ketika kami sedang saling sibuk dengan pekerjaan dan kuliah kami masing-masing.

Jujur saja aku tidak tahu kenapa setelah lulus Ar lebih sering terlihat sibuk bekerja. Dia sudah mulai sibuk mengajar futsal, basket dan juga menjaga warnet Pakde. Meski aku juga sibuk dengan pekerjaan di butik Tante Fika, tapi kami selalu bisa meluangkan waktu kami untuk saling kangen, untuk saling berbagi cerita dan saling menatap satu sama lain untuk menenangkan pikiran.

Sekarang Ar segalanya bagiku. Hidupku terasa sangat bergantung sekali dengannya dan aku tak pernah membayangkan kalau Ar tidak ada di sisiku. Aku pun tak pernah mau membayangkan itu jika memang sempat terbayang untuk sekali atau dua kali di otakku.

"Sell..." Kudengar suara Ar yang parau. Dengan mata khas ngantuknya dia terbangun. Kemudian dia duduk dan bersandar di kepala ranjang.

"Aku mau minum," katanya. Aku pun bangun dan mengambil air minum milikku di atas nakas.

"Kenapa?" tanyaku seraya mengusap kepalanya yang ternyata sedikit berkeringat. Padahal aku sudah memasangnya yang full, tapi Ar seperti kaget sekali saat dia bangun dari tidurnya.

Ar memberikan gelasnya kepadaku. Aku segera menaruh kembali ke atas nakas dan Ar kembali masuk ke dalam selimut.

"Sel...," panggilnya menepuk ke tangan kirinya yang terbuka untuk kutiduri.

Aku pun menurutinya dan Ar segera menghujami pipiku dengan ciumannya.

Hatiku tak pernah absen berdegup keras untuk beberapa saat. Dia selalu jadi yang teristimewa dan aku pun ingin jadi yang teristimewa untuknya.

"Ar..." Aku mendongakkan kepalaku ke atas. Ar terlihat sedang memejamkan matanya kembali setelah mencium pipiku dan juga kepalaku. Tangannya pun tak diam untuk tidak memelukku dengan erat seperti aku ini boneka tersayangnya.

"Hmmm..." gumam Ar saat aku mencoba memiringkan tubuhku menghadap ke arahnya.

"Kau kenapa tidak tidur?" tanya Ar masih dengan mata terpejam.

MY HEARTBEAT COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang