Chapter 22: The Precious

5.2K 384 71
                                    



Arzan Rafadinata POV

Aku mendengus pelan saat mendengar suara Alex dari seberang sana. Semoga saja tak ada yang terjadi dengan mereka. Aku tidak rela kalau Alex mencium Seoul seperti tempo lalu di rumah sakit. Meski itu terhalang dengan kerudung. Demi apapun itu aku tak akan rela.

"Minta air dong." Galih menyikutku yang sedang menelpon Seoul.

"Ambil aja di tas," kataku kepada Galih.

"Sel, ingat ya janji kamu apa!" tekanku ke arah Seoul. Aku tetap harus mengingatkan soal itu pada Seoul agar dia tetap ingat.

"Woyy Ar ayo!" kudengar suara Galih. Dia sudah berdiri di tengah lapangan sana.

"Sel..., aku akan latihan lagi. Mereka sudah menungguku. Sampai ketemu di rumah Sayang. Tunggu aku sampai pulang," kataku seraya mematikan sambungan dengan cepat karena Galih sudah tak sabaran.

Kumasukkan HP-ku ke dalam tasku. Saat aku melihat ke dalam tas ada sebuah botol air. Aku malah tersenyum mengingat bahwa botol ini milik Seoul. Botol tupperware berwarna pink. Aku merindukannya, tapi aku sedih kenapa dia malah tidak ingat kalau ini hari ulang tahunku.

Bahkan sahabatku tak ada satupun yang mengingatnya. Apa aku seburuk itu hingga mereka tidak mau mengingatnya. Ya sudahlah aku kan sudah besar. Kenapa hari ulang tahun saja diributkan. Lagi pula hari lahir kan bukan untuk dirayakan. Bukankah yang terpenting doa untukku. Seoul pun pasti selalu memanjatkan doanya untukku.

Aku tersenyum sejenak saat seraya menutup tasku. Semoga hari cepat sore.

Aku ingin bertemu dengan istriku di rumah.

"Ar...," teriak Galih seraya menendang bola ke arahku.

Aku pun segera menggiring bola dan memainkannya sejenak sambil tersenyum tak jelas membayangkan wajah Seoul. Apa mungkin aku benar-benar sudah gila karena Seoul. Kenapa dia menjadi menari-nari di pikiranku.

Ohh Seoul. Kau memang bidadari tercantikku.

"Ar..., ah sial!" teriak Galih saat bola yang sedang aku giring berpindah ke kaki adik kelasku.

Aku tertawa pelan ke arah Galih. Aku yakin sekali Galih pasti akan menganggapku gila. Seharusnya aku marah juga dong seperti Galih. Namun entah kenapa setelah mendengar suara Seoul ditelpon, hatiku malah merasa lebih baik. Aku juga merasa seperti berbunga-bunga.

"Ar!" Seseorang meneriakiku saat bola datang ke arahku. Aku pun segera mengambil alih permainan. Mereka, lawanku sudah mengambil ancang- ancang ingin merebut dariku.

"Gue!" teriak Galih lagi membuatku membalikkan tubuhku sejenak dan menendang ke arah Galih. Aku lihat Galih menangkapnya dengan baik. Dia penggiring bola terbaik setelahku. Oh tentu saja kami tak akan pernah menjadi teman baik jika bukan karena bola.

"Goal!" riuh sekali memenuhi ruangan. Begitu pun aku ikut berloncat ria dan berlari ke arah Galih. Aku memeluknya dan kami berloncat bersama dalam pelukan.

"Bola aja goal. Masa cinta kamu ke dia enggak goal," bisikku ke arah Galih. Galih terlihat melepas pelukanku. Sedetik kemudian dia memukul bahuku keras seraya tertawa.

"Sialan! Gue enggak seberuntung lo Bro," kata Galih seraya meninggalkanku dan berlari ke tempat yang cocok untuk menghadang bola yang datang.

Hampir dua jam kami bermain tanpa lelah. Sekarang sudah pukul setengah 3 setelah aku selesai mengganti baju dan rapi-rapi untuk segera pulang. Aku lihat Galih sedang memasukkan baju latihannya. Dia terlihat sibuk memasukkan barang-barang yang entah apa itu dengan bungkusan hitam.

MY HEARTBEAT COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang