Part 17 - Unknown

43 0 0
                                    

November 2015

Kalung pemberian Rei kini aku kenakan dan melingkar di leherku yang jenjang.

Apalah arti aku menunggu dirinya dan mengharapkan dia kembali jika saat ini dia tidak diketahui kabarnya. Aku lelah mengecek handphone ku dan tidak menemukan namanya dalam notifikasi.

*Incoming call from unknown number*

Tiba-tiba handhphone ku berdering dengan ringtone Dawin-Dessert dan nomor tidak tersimpan memanggilku.

"Hallo assalamualaikum" sapaku dengan orang yang tidak dikenal itu.

"Hallo. Nabila?" Balas orang itu dengan suara yang tak asing aku dengar.

"Iya. Ini siapa?"

"Ini aku." Suaranya makin terdengar jelas dan mengingatkan aku pada Rei.

"Ini Rei?" Tanyaku dengen penuh heran.

"Iya, Bil" jawabnya singkat.

"Kamu kemana aja, Rei. Aku kangen. 2 bulan aku cari kamu tapi kamu selalu gak ada. Kamu tuh bagaikan ditelan bumi tau gak! Bikin orang sedih! Pake perasaan kamu dong!" Aku membentaknya sambil meneteskan air mata.

"Sekarang kamu di mana?"

"Aku di rumah." Jawabku singkat.

"Aku bisa jelasin, Bil."

"Enak ya kamu. Kamu pergi tanpa alasan dan sekarang kembali gitu? Hati aku bukan mainan, dan hati aku bukan halte yang kerjaannya nunggu. Nunggu orang kayak kamu yang gapunya hati."

"Aku sekarang di depan rumah kamu. Jadi tolong bukain pintunya."

Aku melihat ke luar rumah dengan perantara jendela dan aku menutup telpon langsung berjalan ke depan membukakan pintu.

*Call ended*

'Ceklekkk' aku membuka pintu dan melihat Rei menghadap ke gerbang dan membelakangi pintu rumah dengan baju kemeja yang asing bagiku.

"Rei?" Aku panggil seorang lelaki bertubuh besar yang membalikkan badan dari arah pintu dan sedang memegang handphone.

Dia langsung memalingkan wajahnya ke arahku. Dan menghampiriku.

"Hai" sapaku datar.

Aku dengannya bagaikan orang asing yang saling menatap. Kini dia tak seperti dulu. Raut wajah dan tatapannya kini berubah.

"Hmm maaf ya selama ini..."

"Iya udah lupain. Masuk aja." Aku mempersilahkannya masuk dan menutup pintu. Mengarahkan dia ke ruang dapur.

"Duduk." Aku mempersilahkannya duduk di kursi meja makan.

"Mau minum apa?" Kataku sambil berjalan ke arah kulkas.

"Air aja."

"Air keran mau?"

"Ih kamu." Dia tertawa kecil.

Aku mengambil air putih dari dalam kulkas dan menyediakannya dengan 2 gelas untuknya dan aku.

"Kamu dari mana aja?" Tanyaku membuka pembicaraan dan duduk dihadapannya.

"Dari kampus. Aku tadi ngurus masalah di kampus. Karena aku gak masuk sebulan."

"Kok kamu gabawa mobil. Biasanya bawa atau motor gitu?"

"Semua fasilitas aku ditarik. Aku aja tadi naik taksi kesini."

"Kok ditarik?"

"Iya hmmm aku gatau sih. Itu semua urusan papa."

"Oh gitu. Yaudah."

"Kamu gimana?"

"Kamu baru sekarang nanya gimana? Aku selama kamu gak ada itu bagaikan daun kering yang diterpa angin kesana-sini. Gak ada tujuan!" Jawabku sinis dengan penuh emosional.

"Maaf, Bil. Aku bisa jelasin." Dia memegang tanganku.

"Kalo dipikir pake logika kamu itu udah gak pantes buat balik lagi. Kamu pikir aja. Kamu pergi tanpa alasan selama 2 bulan."

"Aku masih sayang sama kamu, Bil."

"Kalo sayang gak gini caranya." Aku melepas genggamannya dan pergi ke taman belakang. Sampai di ambang pintu belakang, Rei teriak kepadaku dan beranjak dari tempat duduknya.

"Oke aku pergi!" dia berteriak kepadaku dari tempatnya berdiri.

Aku terdiam dan tidak menggerakkan sedikitpun anggota badanku. Dan wajahku tetap menghadap ke arah depan. Suara pintu terdengar tertutup dan suasana rumah itu hening dalam sekejap. Apa dia marah dan benar-benar pergi? Atau aku yang bodoh membiarkan dia pergi di saat aku sudah sangat rindu dengan kepergiannya yang sangat begitu lama?

Tanpa berpikir panjang dan terdiam menatap membiarkan dia pergi lagi begitu saja dengan keegoisanku. Aku putuskan untuk mengejarnya, karena aku hanya mendengar pintu rumah yang tertutup dan bukan pintu gerbang rumah yang terbuka. Aku berlari menghampiri pintu rumah dan membukanya dan berdiri di ambang pintu. Hasilnya nihil, dia sudah tidak ada di sekitar rumahku.

Lagi-lagi, aku membiarkan dia pergi untuk kedua kalinya. Aku menutup kembali pintu rumahku, dan masuk ke dalam kamar. Mencoba untuk menghubungi seseorang yang dapat aku andalkan saat ini, Aldo.

*Calling Aldo*

"Aldo, lagi dimana?" Kataku saat Aldo langsung mengangkat telpon dariku. Bahkan sebelum Aldo berkata "halo".

"Hmm, di rumah. Kenapa?"

"Tadi Rei ke rumah. Tapi dia pergi lagi, karena aku bilang sama dia. Dia udah gak pantas untuk balik lagi sama aku." Ucapku sambil menahan tangis.

"Serius? Yaudah kamu telpon aja lagi dia. Kalo sayang gak mungkin dia pergi beneran kok. Siapa tau dia masih di sekitar situ dan menenangkan diri, mungkin dia terlalu emosi, Bil."

"Tapi aku gengsi. Aku udah suruh dia pergi dan masa aku juga yang harus kejar. Malu aku juga." Kata ku terbata-bata.

"Cinta itu gengsi? Aku baru tau loh cinta itu sebuah gengsi, bukan perjuangan ya?" Nadanya sedikit membentak.

"Okey! Aku kejar dia. Aku telpon dia dan gak bakal aku lepas lagi!"

"Bagus! Yaudah kamu telpon dulu dia sana." Telepon ditutup oleh Aldo.

*Call Ended*

Aku membaringkan tubuhku menghadap langit-langit plafon rumah menyadarinya dan menerima kenyataan yang hadir di sepanjang hariku ini. Aku tidak akan pernah ingin menghubungi Rei duluan. Karena untuk apa aku mengalah untuk sebuah kerinduan yang dibuat olehnya tanpa ada alasan yang jelas dengan pergi tanpa kabar selama dua bulan. Jelas emosiku sangat memuncak pada saat kehadirannya tadi. Aku bukan egois, aku bukan lagi tidak cinta tapi aku butuh kejelasan. Jika memang aku bukan tempat berlabuhnya ketika dia lelah, dan bukanlah rumah yang diinginkan olehnya. Katakan, jangan seperti ini. Ini lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan.

"Jika seseorang pergi tanpa alasan, jangan biarkan dia kembali dengan penjelasan" - Nabila

~~~~

Never Let You Go! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang