Hidup itu memang adil, yang berpisah di satukan, yang menyatukan terkadang di pisahkan. Itu semua ya karna hidup itu adil.Reno mengusap kepalanya dengan kasar, tak ada yang di pikirkannya kembali kecuali rencana mamahnya untuk menyekolahkannya di Prancis. Bagaimana dia bisa meninggalkan wanita yang kini sangat di cintainya? Apa dia mampu melepas merpati yang hampir dalam genggamannya? Suatu mata air jernih yang menyempurnakan hidupnya. Ini hanya lelucon tapi ini nyata!
"God, kenapa harus keluar negri? Aku udah bahagia sekolah disini." kedua bola matanya semakin membengkak, menahan cairan bening yang dalam hitungan detik pun akan menetes satu persatu hingga tak terhitung.
Hembusan angin semakin menusuk tubuhnya, bunga-bunga yang menghiasi taman bergerak kaku mengikuti kemana hembusan udara membawa mereka. Daun-daun yang telah layu berjatuhan disekitar bawah pohon yang rindang dimana Reno duduk di salah satu sisinya. Tidak ada yang tahu apa kejadian sebenarnya, Galuh? Ali? Sekalipun Rani. Hanya Reno!
Satu tetes, dua, tiga, dan seterusnya.
"Gua ga boleh nyerah, nyokap tau apa yang baik buat gua, tapi gua juga tau apa yang terbaik buat diri gua dan nyokap." di usapnya dengan kasar kedua pipi yang tergenang dan segera beranjak dari singgahannya beberapa detik yang lalu.
Sekarang waktunya dia menghilangkan segala masalah yang sedang terjadi, berpura-pura tersenyum hanya untuk sesaat, itu semua karna sekarang tubuhnya yang gagah itu telah berada di antara kerumunan orang yang sibuk dengan kegiatan classmeeting.
"Eh ren, Rani mana?" ucap Kanya seraya melirik ke setiap inchi ruangan tempat salah satu perlombaan yang harusnya di ikuti oleh Rani.
"Lah? Bukannya sama lu? Gua aja nungguin ya dari tadi, kalian tuh gimana sih, ini udah nomor urut ke 15. 22 itu ga lama lagi!" omel Reno yang kemudian langsung membuka gadgetnya dan menghubungi Rani.
"Kenapa gua yang diomelin. Sebel!" gerutunya kesal seraya mengarahkan tangannya hampir memukul kepala Reno saat dia fokus dengan gadgetnya.
"Rani, ran kamu dimana?" bukanya saat panggilannya telah terhubung dengan Rani.
"Hmmpp ... Hmmp ... Hmm."
"Rani kamu bisa denger aku? Kamu dimana sekarang, jangan bikin kita panik."
"Eh Rani kenapa sini gua mau ngomong." Kanya berusaha merebut gadget Reno namun di halangi oleh tangan gagah milik pria yang telah membelangakkan matanya itu.
"Diam." satu kata yang berhasil membuat Kanya terdiam seketika.
Gubrak
Terdengar suara bantingan pintu, dan bangku yang di tarik mendekati sumber pendengaran Reno dari balik gadgetnya."Ran? Rani kamu baik-baik aja?" ucap Reno kembali semakin menunjukkan kepanikannya.
"Bagus ya, jadi lo nelpon Reno! Plakk." entah suara siapa Reno tidak bisa mendengarnya dengan jelas, tapi suara tamparan yang mendarat pada pipi seseorang itu dia yakin Rani.
Kanya hanya diam melihat wajah Reno yang semakin panik, dramatis sekali mungkin pikirnya. Tapi apa dia tahu apa yang kini terjadi dengan sahabat karibnya?
"Rani, ran jawab aku! Rani ran?" dan seketika telepon terputus.
"Ga beres ini," ucap Reno panik dan melangkah bolak-balik dengan gadget yang di kepal pada tangan kanannya.
Kanya menggerakkan kepalanya mengikuti langkah Reno, "lah gua kenapa jadi ngeliatin Reno begini, Rani mana? Udah kaya setrika lu dari tadi jalan sana jalan sini," ucapnya kesal seraya menirukan kegiatan Reno.
"Rani diculik!"
"Hah? Gausah bohong lu. Ini mau kontes lho, udah nomor 17 itu!" tukas Kanya yang seketika berubah panik seperti Reno.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARTNER
Fiction générale"Karena aku tahu, bahwa kita akan tetap menjadi kita." -Riki