24. [Siapa Dia?]

15 4 2
                                    

Tak ada yang lebih menyenangkan dari liburan kali ini, bahkan jika boleh di ulang aku ingin bertemunya tepat di rumah pohon kami. Entah apa yang membuat ku dengan cepatnya percaya padanya, tapi aku yakin dia memang Riki ku.

"Kamu tau? Sudah hampir lima tahun aku meninggalkan tempat ini, setaun setelah kamu pergi tempat ini yang mengurus orang suruhan bapak, tapi sekarang bapak sudah tidak ada. Dia kecelakaan saat ingin menemuiku di Jakarta. Seminggu sejak kepergian bapak aku hanya berdiam di kamar, sampai tante Nengsih mengatakan satu hal. Kata dia iko saja yang masih kecil bisa mengikhlaskan ayahnya, kenapa aku tidak? Akhirnya aku mulai semangat belajar lagi, sampai aku bisa sekolah setahun lebih cepat dari kamu dan kata tante Nengsih bapak pasti bangga sama aku."

Aku melihat duka sangat dalam dirinya saat ini, mungkin banyak yang ingin dia ceritakan padaku.

Aku menghampiranya, menepuk pundaknya pelan dan dia menatapku sebentar. Aku mengambil posisi di sebelahnya, tak lupa menopangkan kepalaku di pundak kanannya.

"Aku bangga sama kamu, kamu bisa sekuat itu saat kehilangan pakde. Aku udah tau soal itu kok."

Ku rasakan kepala Rizki menengok ke arah ku, "Kamu tau dari mana?"

Aku mengangkat kepala ku, berdiri dan berjalan dua langkah menjauhi dirinya, menatap rumah pohon yang di buatnya dengan pakde saat kami kecil, benar-benar sangat terawat, masih banyak hiasan berwarna sky blue melilit di antara dinding kayu. Aku tersenyum bangga, akhirnya aku menemukan dia, laki-laki yang selalu aku tunggu.

"Ayuk ke atas."

Aku mengangguk, tidak terlalu sulit karna sudah di desain seperti rumah panggung, aku melangkahkan kakiku perlahan, satu demi satu anak tangga terlewat.

Semuanya terlihat sangat indah, apalagi dia yang ada di depan ku saat ini, matanya, hidungnya, aku merindukannya, sangat, bahkan rindu ini terlalu berat. Seperti mengerti kerinduan yang aku rasakan, Rizki langsung memelukku erat, aku pun membalasnya, bagai sengatan listrik, darahku seakan terus mengalir, pelukan hangat yang selalu aku rindukan. Pelukan yang selalu dia berikan saat Kanya kecil menangis.

"Aku sayang kamu kay," bisiknya di daun telinga ku.

Tubuhku seakan bergetar saat Rizki mengeratkan pelukannya, aku hanya tersenyum sambil menenggelamkan kepala ku di pundaknya,

"Aku juga sayang kamu ka Rizki."

Rizki melepas pelukannya seraya mendengus kesal,

Aku tau masalahnya.

🐤

Ali mendelik licik ke tiga orang di hadapannya, "gua tau apa yang harus gua lakuin."

Pandangannya kembali ke rumah pohon, dimana Kanya dan Rizki berbincang.

"Li, jangan macam-macam lu, gua ga mau masuk penjara." Reno bergidik ngeri.

"Emang siapa yang mau ngajak lu ngelakuin pembunuhan? Rizki boleh menang disini, tapi jangan harap di Jakarta dia bisa sedeket itu sama Kanya."

Rani tak mengerti apa yang harus dia lakukan, kedekatannya dengan Reno menuntutnya selalu mengikuti mereka bertiga. Sementara Kanya juga sahabatnya.

"Aaaa pusing," pekik Rani.

"Sttt nanti Kanya sama Rizki tau kita ber-empat ngintip," sela Galuh seraya menutup mulut Rani.

"Gausah pegang-pegang dong luh." Reno menyibakkan tangan Galuh dari mulut Rani.

"Sensi banget sih lu bos," ucap Ali dan langsung memutar tubuhnya, "udah ayok balik ke villa, udah waktunya makan siang," sambungnya.

PARTNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang