....
Lima tahun berlalu, sejak peristiwa 1 Mei 2011 silam. Entah telah berapa lembar kertas telah menjadi saksi kisah persahabatan kami. Persahabatan yang unik dan tidak biasa. Satu per satu ku baca kembali surat-surat dari Alif. Begitu banyak hal yang tercurahkan di sana. Tentang aku. Tentang Alif dan kehidupannya. Suka dukanya di Penjara Suci. Tentang Perjuangannya. Seolah tak ada yang disembunyikan Alif dari ku.Pun tentang aku. Tentang perjalananku sejak hari itu, sampai pada detik ini. Semua senantiasa ku tulis dalam sebuah buku gelatik hijau yang pernah diberikan Alif sebelum dia pergi. Pergi untuk memperjuangkan mimpinya. Cita-citanya menjadi seorang Hafidz dan menginjakkan kaki di negri Bulan Bintang.
Tahun-tahun berlalu, dan aku masih senantiasa menulis surat untuk Alif. Surat yang mungkin tidak akan pernah terbaca olehnya. Sejak saat itu, kepergian Alif ke Jakarta yang akhirnya membuat kebiasaan kami saling berkirim surat terhenti. Bukan, bukan karena aku tak tahu keberadaan Alif dimana. Tapi karena aku tak ingin mengganggu Alif. Aku tidak ingin konsentrasi belajar Alif terpecah olehku.Meski terkadang rindu, tetap ku tahankan untuk tidak menghubungi Alif sampai dia sendiri yang akan menghubungiku. Dan di suatu sabtu, untuk pertama kalinya semenjak perpisahan kami Alif menelpon. Alif mengisahkan kehidupan dan perjuangan lanjutannya di Rawa Mangun, Jakarta. Tentang kehidupan barunya yang serba berubah dan tentu saja lebih baik dari pesantrennya yang sebelumnya.
Ah, Alif. Dimana kamu sekarang? Aku rindu. Banyak yang ingin ku utarakan kepadamu. Termasuk tentang lamaran itu. Apa yang harus aku lakukan? Seandainya, semua tentang kita ini terang adanya aku tidak akan sebimbang ini.
......"Kira-kira sekarang ini saat saya menulis surat ini sudah pukul 1 dini hari. Maklum, orang sibuk banyak pekerjaan.Annisa, maaf kali ini saya belum bisa menjawab pertanyaan kamu yang kemarin. Pertanyaan mu tentang mengapa Ali Imron disebutkan dalam sebuah karya sastra. Saya tidak begitu mengerti sastra. Dan saya belum begitu memahami makna surat Ali Imron. Nanti saya cari tahu dulu ya Monyet Cantik!
...."
Alif selalu bisa membuatku tertawa sendiri setiap kali membaca tulisan darinya. Seperti malam ini, entah ini surat ke berapa kali. Ini adalah surat balasan dari Alif saat aku menanyakan apa makna dari surat Ali Imron di dalam Al Quran sampai ia dijadikan sebuah tema dalam suatu karya sastra. Tentu saja saat itu aku hanya mencari topik untuk dapat terus berkirim surat dengan Alif. Siapapun tokoh dalam karya sastra adalah kuasa penulis. Hanya penulis yang paling tahu alasan dan hubungan antara Ali Imron dalam karya sastra dengan Ali Imron di dalam Al Quran. Selebihnya adalah interpretasi pembaca saja.Monyet Cantik, adalah panggilan khusus Alif kepadaku. Aku pun memiliki panggilan khusus untuk Alif si Tuan Empunya Monyet. Kalian mungkin akan mentertawakanku dan aku sarankan jangan menjadi aku. Dan sejak saat itu aku menjadi pecinta monyet. Senang melihat atraksi topeng monyet di pasar atau keliling. Salah satu peraturan saat jatuh cinta adalah, kita akan menjadi seseorang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan orang yang dicintai.
Tapi tunggu, apakah aku jatuh cinta dengan Alif? Tidak. Atau entahlah, aku tidak ingin mencari tahu. Karena ini rumit. Tapi aku selalu menikmati kerumitan antara aku dan Alif. Lalu, rasa apakah ini? Kegugupan demi kegugupan yang mencuat setiap kali mendengar nama Alif disebut. Atau hanya sekedar melihat namanya di layar HP ku setiap hari Sabtu. Iya. Semenjak hari itu, hari kelulusan sekolah. Dan hari perpisahan antara aku dengan Alif, aku selalu menunggu Sabtu. Bahkan perpisahan itu terjadi sebelum aku sempat bertemu Alif meski hanya satu detik saja. Karena selama ini, kami hanya berpapasan. Dan akan saling menunduk setiap kali kedua mata itu saling beradu secara tidak sengaja.
Dan selama bertahun tahun pula aku membiarkan diriku terjebak dalam kerumitan atas perasaan sendiri. Mengabaikan setiap hal-hal terang yang mencoba mendekat memasuki gerbang kehidupanku. Tapi aku selalu bergeming. Memilih bertahan dalam sebuah jalan tanpa titik terang cahaya. Sehingga semua yang terlihat menjadi samar.
.....
Minggu ini terasa begitu lama. Sabtu tak kunjung terlihat ujung pangkalnya. Jarum jam seperti berhenti berdetak atau mungkin ia berjalan mundur? Entah, ini adalah sabtu yang kesekian yang aku tunggu. Tapi Sabtu ini berbeda. Bukan untuk menunggu telpon dari Alif. Melainkan aku yang akan menghubunginya. Akan ku sampaikan pada Alif tentang hal yang terjadi di sini. Tentang lamaran itu. Tentang aku yang pasti akan bergeming seandainya nanti jawaban Alif adalah agar aku menerima salah satu dari mereka.Karena diam-diam, laki laki yang ku harapkan untuk datang menemui Ayah adalah dia. Alif Lam Mim.
t-ܓ
YOU ARE READING
Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah Coretan
RomanceBila dunia hanya dalam sebuah coretan, apa yang ada di benakmu ketika mendengar kalimat itu? Alam semesta yang begitu luas ini, ternyata hanyalah seluas kertas yang berisi goresan-goresan tinta cerita kehidupan anak manusia. Goresan tentang kehidupa...