Lamaran

71 3 0
                                    


Percakapan tanpa pertemuan
Perhatian tanpa perwujudan
Lalu, Bagaimana mungkin
Aku mencintaimu tanpa rupa?
.......

Semarang, 17 September 2016

Aku yang dirundung kebimbangan. Masih terjebak dalam peliknya masalah kehidupan orang dewasa, lamaran. Ya. Belum lama ini ada dua pemuda yang mendatangi rumah Ayah dan menyampaikan niat baik mereka untuk melamarku. Tentu aku tidak bisa seketika menjawab iya atau tidak. Perlu banyak pertimbangan. Bukan, bukan karena mereka dari keluarga yang tidak baik. Dua pemuda itu sudah bekerja, setidaknya berpenghasilan tetap. Dari foto yang Ayah perlihatkan padaku malam itu, dua pemuda itu tidak terlalu buruk. Dan mereka juga tergolong dari keluarga yang juga taat agama. Lalu, apa yang aku bimbangkan?

Bukan bimbang harus memilih satu diantara mereka. Melainkan bimbang harus dengan cara seperti apa aku menolak lamaran ke dua pemuda itu. Kata Ayah, jika ada orang yang baik agamanya datang melamar kita, maka kita tidak ada alasan untuk menolak lamaran tersebut. Tapi lamaran ini pun bukan untuk sebuah permainan melainkan untuk dilanjutkan dalam sebuah pernikahan. Pernikahan yang aku inginkan hanya sekali seumur hidupku.

"Jadi aku harus bagaimana, Umi?" Aku menelpon sahabatku.
"Ikuti kata hatimu, Nisa. Yang menjalankan nantinya adalah kamu"
"Baiklah." Ku letak kan gagang telpon kembali.

Terbayangkan satu nama. Satu nama yang bertahun tahun ku simpan dalam doa. Satu nama yang ku simpan dari Ayah. Bertahun-tahun, tanpa pernah melihat rupa wajahnya. Tapi mampu membuatku rindu tanpa harus beradu mata.


.....

Aku membuka laci mejaku. Mengambil sebuah kotak yang sedikit terlihat usang. Butiran debu menyelimuti kotak itu. Ku buka perlahan kotak yang sudah dua tahun terakhir ini tersimpan rapi dalam laci.
Seakan membuka kenangan lama. Lembaran surat-surat percakapan dua anak manusia di masa remaja. Pop up unik bertuliskan tanda persahabatan dan ucapan selamat ulang tahun. Buku tentang panduan sholat dan memory card kecil 4gb yang berisikan lantunan ayat-ayat suci al quran. Semua tertata rapi dan manis dalam kotak itu.

Ku ambil sebuah buku gelatik warna hijau. Semakin jelas tergambar dalam ingatanku tentang seseorang. Seseorang yang permah menjadikan hidupku berwarna, meskipun berujung warna abu-abu. Samar . Di dalam buku ini adalah coretan-coretan tangannya yang mengisahkan pahit dan manisnya kehidupan di penjara suci. Dialah Alif. Yang malam ini ku kenang. Dan ku sebut lirih dalam pekatnya malam bak malam petang 30 bagi orang Melayu Dalam di sana.

Masa yang begitu indah. Mewarnai masa putih abu-abuku yang mulanya terasa begitu hambar. Ah. Biarlah ku lupakan sejenak soal lamaran itu. Dan aku akan mengingat kenangan tentang aku dan Alif dulu. Alif yang pemalu, tapi mampu membuatku menjadi lebih pemalu. Alif, dimana kamu? Haruskah ku katakan padamu "besok aku menikah" maka kamu akan pulang? Bahkan ketika aku tidak mengerti tentang definisi pulang bagimu. Alif, kaifa khaluka ya akhi?

�3���s�� 

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now