Surat Pertama Alif

43 1 0
                                    


"Percakapan tanpa pertemuan
Lalu, Bagaimana mungkin aku mencintaimu tanpa rupa?"
.....


"Saya juga tidak pernah mengirim surat kepada siapapun sebelumnya Annisa. Ini untuk pertama kalinya saya menulis surat, ditujukan untuk Monyet lagi. Monyet cantik dari kampung Dukuh. Akan ada banyak hal yang bisa dituliskan di atas kertas ini nantinya. Percayalah. Karena hanya kertas ini yang nantinya akan menjadi perantara diantara persahabatan kita, semoga bermanfaat.
Banyak hal bisa kamu tuliskan di sini Annisa. Banyak hal yang bisa kita diskusikan di sini. Hal-hal yang tidak umum dilakukan.


Tapi sekali lagi saya bertanya, kamu yakin akan terus berkirim surat dengan saya? Sebaiknya kamu pikirkan lagi nanti bagaimana tanggapan teman teman kamu ketika mereka tahu kamu menulis surat, dengan saya lagi. Alif Lam Mim yang gak populer. Bahkan guru aja ada yang tidak tahu dengan saya. Berbeda dengan kamu, Dhia Annisa. Semua guru kenal dengan Annisa. Seantero sekolah juga mengenal siapa Annisa.
Bahkan semua Petugas kebersihan sekolahpun mengenalmu.
Sejujurnya, untuk bisa berkesempatan berkenalan dengan kamu saja sudah cukup bagi saya Annisa.


Sekian. Di pondok jarum jam menunjukkan pukul 02.45. Hoamm, saya sudah mengantuk. Bye Monyet Cantik"

Aku tersenyum membaca surat pertama dari Alif. Sayangnya ketika kami saling berkirim surat kami tidak pernah mencantumkan tanggal dan bulan saat kami menuliskannya. Semua mengalir begitu saja. Tetapi, tanggal yang tidak akan pernah terlupakan olehku, mungkin juga oleh Alif adalah tanggal 1 Mei 2011. Di tanah Jogja. Jogja yang selanjutnya menjadi istimewa bagiku, karena setiap kali mengunjunginya aku akan teringat pada Alif Lam Mim.

Surat itu ku temui pagi hari di sekolah di laci mejaku. Aku tidak tahu kapan Alif meletakkan surat itu di sana. Apakah dia berangkat pagi-pagi sekali sampai sampai ia berani meletakkan surat di laci mejaku.
....
"Aku sudah memikirkan dengan baik. Karena ini unik. Gak biasa. Lain dari pertemanan yang lain. Tanpa harus bertemu kita bisa membicarakan banyak hal seperti yang orang lain lakukan dengan lazimnya pertemuan. Mungkin Zara, Medina, Karenina dan temanku yang lainnya akan tertawa sekilas. Tapi lama kelamaan aku yakin merekapun akan terbiasa dengan kita.


Haha. Jelas saja seantero sekolah mengenal Dhia Annisa si pedagang sekolah. Kamu tahu sendiri, aku jualan di sekolah ini. Menjual aksesoris dari Bu Iza, menjual jajanan dan makanan ringan buatan Tante Wati. Makanya semua kenal dengan Annisa. Dhia Annisa, kelas 11 Bahasa. Satu-satunya siswi yang berjualan di sekolah. Jadi hal itu wajar saja jika semua orang mengenalku di sekolah ini. Karena tentu saja mereka mencariku untuk membeli jajanan. Tapi itu tidak penting, aku berteman denganmu pun karena perilakumu yang tidak biasa. Sudah ya. Ini sedang kelasnya Mrs. Erny. Kamu tahu betapa killernya dia bukan? Hehe. Bye Alif si Tuan Empunya Monyet. "

....
Kira kira itu adalah sebagian yang teramat kecil dari percakapanku dengan Alif Lam Mim. Seperti hanya basa basi saja bukan? Begitulah. Terkadang yang ditulis di atas secarik kertas itu adalah sesuatu yang tidak penting. Sesuatu yang tidak penting itulah, yang menumbuhkan benih benih perasaan aneh. Kegugupan dan kerumitan yang tidak aku mengerti.

Bel tanda istirahat berbunyi. Aku senang bukan kepalang. Seperti biasa, aku akan duduk di depan kelas bersama teman temanku. Sebelumnya hal itu ku lakukan sebagai rutinitas belaka. Tapi tidak untuk hari ini, lebih tepatnya sejak hari ini. Mulai hari ini dan seterusnya hal ini akan menjadi kebiasaanku setiap kali istirahat pertama sekolah. Duduk diam, tanpa banyak berbicara. Sedikit acuh akan gurauan teman temanku. Kepala celingukan mengarahkan pandangan ke sebarang. Seakan mencari. Siapa lagi kalau bukan Alif Lam Mim. Aku menunggunya lewat depan kelasku. Meskipun pada saat pertemuan itu terjadi, aku akan menunduk. Pun dengan Alif. Lalu aku hanya akan memandangi punggungnya yang kian menjauh.

Rombongan Alif berlalu. Aku mencari seorang lagi. Rasya. Sang Ketua OSIS.
"Rasya!" Aku memanggilnya saat rombongan itu berjalan kira kira 10 meter dari kami. Rasya menoleh ke arahku. Diam
"Tunggu!" Aku berlari ke arah Rasya .
" ada apa neng?" Rasya bertanya keheranan karena melihatku sampai terengah mengejarnya.
Ku ambil secarik kertas dari saku seragamku.
"Ini."
"Surat?? Buat?!" Rasya menatapku penuh curiga.
"Titip buat Alif Lam Mim. Jangan ada yang tahu!" Ku katakan dengan setengah berbisik kepada Rasya.
Rasya tersenyum menggoda menatapku. Aku tersipu malu.

Rasya kembali berjalan menuju masjid sekolah. Aku kembali ke dalam rombongan teman temanku. Sambil terus tersenyum. Aku tidak mampu menyembunyikan rasa itu. Karena pasti wajahku akan memerah ketika mereka menggoda.
"Cieeeeee" serempak seperti grup paduan suara. Aku memilih untuk tidak menanggapi godaan itu.

Kegugupan pertama telah teratasi. Masih akan ada kegugupan yang ke dua untuk hari ini. Alif Lam Mim dan rombongan ke masjid, tentu mereka juga akan kembali dari masjid. Dan saat ini aku sedang menunggu saat saat itu. Tak lama kemudian, Alif Lam Mim dan rombongan keluar dari masjid. Mulai melanngkah berjalan ke arahku. Tidak. Ke arah kelas mereka maksudnya. Reflek aku merapikan poni dan rambut kucir kudaku.

Dan saat itupun tiba. Saat rombongan itu berjalan melewati aku. Saat aku mencoba memberanikan diri untuk menatap para laki laki idaman perempuam muslimah. Tapi dalam hitungan detik akhirnya aku menunduk lagi. Terlebih ketika ternyata aku mendapati ke dua mata Alif Lam Mim yang juga diam diam melirik ke arahku. Mata yang tajam tapi meneduhkan. Rasya sengaja berjalan paling belakang diantara mereka. Rupanya dia sedang menyelidik apa yang terjadi antara aku dan Alif Lam Mim. Karena selanjutnya, melalui Rasyalah aku paling sering menitipkan surat untuk Alif Lam Mim.

Hari demi hari terlewati. Tanpa pertemuan. Tapi mampu menyisakan kerinduan yang sendu.
....

+T

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now