Secarik kertas kenangan

58 0 0
                                    


"Tentang sebuah rasa
Berayun dalam jemari
Terlukis dalam kitab nan suci
Dia. Alif Lam Mim"
.....


Tentang Alif Lam Mim. Yang begitu megah disebut dalam kitab nan suci. Dalam Al Baqarah sang pencerah manusia, yang menerangkan bahwa Al Quranlah sebaik baiknya pedoman bagi hidup manusia. Sesuci rupa dan perilakunya. Yang tak pernah bersentuhan dengan perempuan. Alif Lam Mim bak secarik kertas putih tanpa noktah hitam selaku dosa. Dialah laki laki yang sejak hari itu perlahan mengubah arah hidupku. Jika hari itu, aku masih merasa bangga atas laki laki yang datang memuja. Maka hari ini aku justru merasa malu. Begitu murahkah aku terhadap diriku sendiri?

Tentang aku dan Alif Lam Mim ialah seperti bumi yang merindukan langit. Alif Lam Mim jauh berada di langit, tempat Malaikat mendoa untuk manusia-manusia pilihan Illahi. Sedang bumi ialah tempat manusia yang senantiasa mengotori dirinya dengan dosa. Aku, mungkinkah terlalu berharap? Aku hanyalah perempuan dengan masa lalu yang kelam. Yang tak pantas untuk ku utarakan di sini. Karena bisa saja kalian akan mengutuki aku sebagai perempuan tak tahu diri atas pengharapanku pada Alif Lam Mim.

Sejak awal berdekatan dengan Alif Lam Mim, aku tak pernah berharap untuk dapat sejauh ini. Bahkan sampai hari ini, 5 tahun 4 bulan terhitung dari pertemuan di Pantai Selatan itu. Dalam benak ku saat itu, percakapan antara aku dengan Alif Lam Mim akan terhenti malam itu juga. Tapi ternyata waktu membawa Alif Lam Mim dalam hidupku sampai hari ini.
....

Setiap kali ada kesempatan libur Pesantren Alif akan menghubungiku. Dan aku akan selalu merasakan sensasi kegugupan yang maha dahsyat meski tak secara langsung berinteraksi dengan laki-laki pendiam itu. Di sekolah, di rumah, tengah malam, dini hari. Kapanpun ada kesempatan Alif akan memghubungiku. Menceritakan hari harinya di penjara suci. Ketatnya persaingan. Suka dukanya menjadi anak santri. Alif mampu menghipnotisku untuk masuk ke dalam dunianya. Akupun ingin merasakan hidup di penjara suci. Bahkan aku berjanji, jika sampai seumur hidupku nanti aku tidak bisa merasakan perjuangan di penjara suci. Maka biarlah anak-anak yang lahir dari rahimku nanti yang akan mengikuti jejak Alif Lam Mim. Yang juga diam diam kuharapkan menjadi Ayah dari anak-anak yang akan lahir dari rahim perempuan bernama Dhia Annisa.

"Monyet Cantik
Mungkin mulai sekarang kita tidak bisa berhubungan lagi"
By : Alif Lam Mim
"Kenapa gitu?"
Sent
"Peraturan pesantren yang baru melarang membawa HP kapanpun"
By : Alif Lam Mim
"Yahh :( ''
Sent
" jangan sedih. Kamu bisa menulis surat untuk ku"
By : Alif Lam Mim

......

Surat? It sound so old right? But id love it.
Maka sejak itulah, entah kapan harinya. Alif tidak lagi menghubungiku melalui pesan singkat dari HPnya. Karena peraturan baru di pesantrennya yang melarang para santri untuk menggunakan HP selama di pesantren. Jika ada hal penting yang ingin disampaikan kepada keluarga ataupun sebaliknya, bisa melalui pengurus pesantren atau yang dikenal dengan istilah lurah pondok.

Surat. Iya, sudah ku katakan bukan? Bahwa cerita ceritaku dengan Alif Lam Mim adalah cerita yang diabadikan dalam secarik kertas. Yang saat ini mungkin sudah tidak banyak orang melakukannya. Ketika dijaman yang serba modern ini ada email, facebook, whatsapp dan media sosial lainnya, tapi Alif Lam Mim seorang laki-laki di belahan bumi Indonesia bagian barat memilih surat untuk mengutarakan setiap maksudnya kepadaku. Bahkan aku sendiri awalnya tidak percaya, bahwa aku Dhia Annisa di jaman modern seperti ini mau berkirim surat dengan seorang lelaki pendiam seperti Alif Lam Mim.

"Ih, surat?? Ini tahun berapa?? Lagian kelas kita sama kelas Alif kan ga jauh-jauh amat" itu reaksi teman-temanku saat mengetahui bahwa hubunganku dengan Alif Lam Mim selanjutnya akan dilanjutkan dalam secarik kertas. Hubungan dalam kertas? Hubungan macam apa? Tentu saja hubungan pertemanan. Jangan berpikiran atau berharap tentang hubungan yang lain antara aku dengan Alif Lam Mim.

Aku tidak akan terlalu menanggapi protes dari teman-temanku. Karena mereka tidak akan memahami bagaimana rasanya menjadi aku. Sudah ku katakan sejak awal bukan? Tidak akan ada yang mengerti rasanya menjadi aku yang bahagia karena secarik kertas dari Alif Lam Mim.

Awalnya aku sedikit kebingungan harus memulai dengan kata apa untuk memulai percakapanku dengan Alif di atas kertas itu. Karena sejujurnya aku juga tidak pernah menulis surat pribadi sebelumnya. Surat dinas sering, tapi apa iya aku tulis surat untuk Alif seperti aku menulis surat untuk Kepala Sekolah. Bahkan, hanya untuk menulis saja aku sudah merasa gugup. Bukan bertemu. Apalagi bertemu, aku tidak berani berharap untuk bertemu dengan Alif. Pertemuan antara aku dengan Alif adalah pertemuan lima tahun silam di Rumah Jogja. Untuk pertama kalinya, dan semoga tidak untuk terakhir kalinya.

"Alif, aku bingung harus menulis surat seperti apa yang baik dan benar itu. Aku tidak pernah menulis surat sebelumnya. Kecuali surat untuk Kepala Sekolah jika ingin mengajukan proposal kegiatan. Jadi berbanggalah kamu karena menjadi orang ke dua setelah Kepala Sekolah yang dikirimi surat oleh Dhia Annisa. Ehe!
Di atas secarik kertas ini, semoga akan menjadi percakapan yang menarik. Dan mungkin aku akan bertanya banyak hal kepadamu Pak Ustadz. Hehe salam

Kira-kira seperti itulah surat yang pertama kali ku tulis untuk Alif Lam Mim. Iya, di atas secarik kertas itu pada akhirnya menjadi percakapan yang kian hari kian menarik. Selalu membuatku merasa gugup. Di atas secarik kertas itu Alif menggoreskan kata katanya yang terkadang sarat akan rindu, tak jarang pula membuat ku merasa kesal, kekhawatiran, marah yang tak terungkapkan. Semua emosi menjadi satu padu dalam secarik kertas goresan tinta Alif Lam Mim.

Dan kelak, secarik kertas ini adalah kenangan yang akan selalu tersimpan rapi dan menempati ruang tersendiri di dalam benak Dhia Annisa. Alif Lam Mim, aku rindu membaca tulisan tanganmu.

S

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now