Bimbang

32 0 0
                                    



Hari genap berganti hari. Suara ayam tetangga yang berkokok memecah keheningan fajar. Tak lama diikuti lantunan suara adzan dari surau surau di sekitar tempat tinggalku. Peristiwa subuh hari. Ku buka jendela kamarku. Membiarkan angin subuh menelisik ke dalam kamarku, dingin. Biar sedingin hatiku pada mereka. Semburat warna oranye di langit Kampung Dukuh menyingsing mentari yang beranjak dari peraduannya. Untuk membuka hari. Pagi sempurna pagi. Langit subuh hari selalu memikat bagiku. Seperti senja, yang keindahannya tak pernah lepas dari pandangan mata.

Sabtu terlewati begitu saja. Tanpa pesan dari Alif, tanpa suara dari Alif. Minggu pagi. Hiruk pikuk suara ibu mulai terdengar. Membangunkanku lebih awal dari biasanya. Karena hari minggu adalah harinya Ibu untuk berkumpul dengan ibu ibu majelis pengajian di bawah pimpinan Kiai Fathur. Sahabat kiai Alif di Pesantren yang dulu. Aku sering ikut ibu ke tempat itu.

Berbondong-bondng orang datang menuju penjuru suara itu. Suara Kiai Fathur yang menyayat hati seolah mengingatkan kepada setiap yang mendengar akan dosa dosanya di masa lalu. Begitu merdunya, sarat akan kedamaian jiwa tapi juga menyayat bak pengingat dosa.

Setiap minggu pagi, Kiai Fathur menggelar pengajian yang dihadiri ratusan jamaahnya. Baik tua maupun muda. Tak jarang juga kulihat anak anak yang mungkin diajak oleh orang tua mereka.

Sesekali ku lihat pasangan muda yang datang bersama anak bayi mereka. Laki laki muda bersarung dan berbaju koko, dan perempuan cantik nan anggun tertutupi balutan hijab syari. Dan anak bayi mungil yang polos dan lucu. Alangkah bahagianya keluarga kecil itu. Setiap hari minggu pagi datang menjemput kedamaian penyejuk kalbu.

Tahukah, aku pernah membayangkan suatu hari aku tidak hanya datang ke pengajian kiai Fathur bersama Ibu. Tapi juga bersama Alif Lam Mim.
.....
"Apa Ibu perlu ajak kamu sowan ke kiainya Alif dulu, Nduk?"
Suatu hari, Ibu pernah mengajak ku berbicara serius perihal aku dengan Alif Lam Mim
"Ndak usah Bu. Atau mungkin jangan dulu. Biar Alif Lam Mim berkonsentrasi untuk hafalan Alqurannya".

Aku menolak ajakan Ibu saat itu. Dua tahun lalu, saat Alif Lam Mim masih dalam perjuangan untuk menyempurnakan hafalannya. Dua tahun lalu, saat ku terima sebuah kiriman paket dari Pesantren Sulaimaniyah atas nama pengirim Alif Lam Mim. Kiriman yang berisi buku panduan solat, tentang tafsir beberapa hadis dan sebuah memory card yang berisi murrotal 4gb. Dalam hati, sejujurnya aku berharap bahwa salah satu dari puluhan lantunan ayat suci itu ada rekaman suara Alif Lam Mim. Sebagai pengobat rasa rindu yang tak pernah terungkapkan ini.

Hanya sekali. Aku pernah mendengar suara Alif saat bersenandung ayat ayat suci nan indah itu. Pada saat petang, yang tidak sengaja aku melewati Pesantren Biru itu. Pesantren yang ditempati Alif selama SMP dan SMA, sebelum berpindah ke Rawa Mangun, Jakarta dan Bogor. Dan hari ini, entah dimana Alif Lam Mim sekarang enggan mengatakan keberadaanya secara detail kepadaku.

Suara AlifLam Mim begitu indah. Lantunan adzan itu, sesekali masih terngiang samar di telingaku.

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now