Bila Dunia Hanya Dalam Coretan

12 0 0
                                    


Bila Dunia Hanya Dalam Coretan

......

Jika semua tetap tak berwarna

Untuk apa aku tetap menunggu

Yang kucari hanyalah kepastian

Jadilah warna yang terang

Tapi jangan menyilaukan

Hari demi hari berganti, minggu demi minggu, hingga bulan dan tahun terus berganti. Hari kelulusan sekolah telah berlalu. Hari untuk kehidupan barupun bermula. Perpisahan yang menciptakan jarak. Kerinduan menyisakan Tanya. Dan inilah kisah persahabatan dua anak manusiayang terlukis dalam goresan tinta hitam. Kata-kata penuh makna tertulis indah, menyembunyikan berbagai macam perasaan sang penulis. Dan akulah si penulis yang selalu menyembunyikan berbagai macam perasaanku yang berkecamuk. Rindu beradu dengan kekecewaan,kekesalan atas ketidakjelasan kisah klasik manusia remaja. Kira-kira, hampir enam tahun lalu saat usiaku baru 17 tahun, semua ini tak serumit hari ini. Sesederhana bahagianya saat melihat Alif Lam Mim berjalan menuju sekolah. Memandangnya punggungnya yang semakin menjauh, menundukkan kepala saat sepasang mata itu tak sengaja beradu dengan kedua mataku. Dan sesederhana kesedihan yang kurasakan jika seharian aku tak melihat Alif Lam Mim di sekolah.

Jantung yang berdebar setiap kali membuka surat dari Alif Lam Mim, kesalnya saat harus mengotak-atik tempat sampah untuk menemukan surat darinya. Rasa malu yang menyenangkan untuk setiap kejutan-kejutanyang diberikan Alif Lam Mim di hadapan teman-temanku di kelas. Semua indah pada masanya.

Namun, hari itu aku tak menyadari. Atau aku memilih enggan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi? Ku biarkan semua mengalir seperti air yang pasti akan menemukan muaranya. Sayangnya, sampai hari ini tak juga bermuara. Mungkin saja hari itu aku masih terlalu naïf. Hingga tak menyadari ada sebuah cinta yang terlihat dari seorang pemuda lugu bernama Alif Lam Mim.

"Whaa, Alif telah jatuh cinta." Gumam Rasya yang sedikit banyak mengetahui tentang cerita aku dengan Alif Lam Mim. Meski Alif tak pernah mengungkapkan, tapi hari itu tentulah semua orang melihat. Dari caranya mencuri pandang, dari caranya tersenyum, dari caranya memberi kejutan-kejutan sederhana. Saat-saat mendebarkan ketika hari ujian sekolah tiba, ujian praktik speaking mata pelajaran Bahasa Inggris. Mrs. Erny hampir tepuk tangan puas dengan hasil persentasi yang aku lakukan sebelum Alif Lam Mim berjalan melewati depan kelasku. Seketika kosa kata yang sebelumnya beterbangan dalam kepala hilang entah kemana. Konsentrasiku buyar seketika, saat melihatnya mengulumkan senyuman yang selalu terlihat manis. Tak pernah berkata. Tak pernah saling sapa. Hanya seuntai senyuman yang juga dilakukan diam-diam. Jika orang0orang berkata masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah, aku adalah orang pertama yang sangat setuju dengan hal itu. Alif Lam Mim seperti pensil warna yang mewarnai hari-hariku. Hijau bak daun yang menyejukkan, merah muda bak bunga sakura yang memesona, tak jarang pula memberi warna abu-abu kehitaman bak langit yang sedang mendung, atau sesekali memberi warna biru muda yang menenangkan.

......

Ku kumpulkan sekali lagi surat demi surat yang dituliskan Alif Lam Mim, kaligrafi dan juga syair-syair berbahasa Arab yang diberikan Alif untuk ku. Ku simpan hadiah satu dengan hadiah lainnya. Gantungan kunci monyet dari batok kelapa, burung-burung bangau dari kertas origami, dan Al Quran yang diberikan Alif Lam Mim sehari sebelum keberangkatannya ke Jakarta. Aku menyimpannya rapi di dalam laci. Al quran itu, akhirnya menjadi sesuatu yang akan selalu aku bawa kemanapun aku berkelana. Hadiah-hadiah sederhana, namun jelas memiliki sejuta makna.

Hari ini, jika aku merindukan Alif Lam Mim aku akan mendengarkan murrotal-murrotal darinya, untuk ku mengenang Alif dan suara merdunya yang selalu samar-samar ku bayangkan. Karena sejatinya aku belum pernah mendengarkan merdunya suara Alif saat membacakan ayat suci Al Quran secara langsung. Namun aku yakin, suara Alif Lam Mim tak kalah merdunya dengan suara pelantun murrotal yang aku dengarkan. Hanya itu yang bias aku lakukan. Tanpa harus mencari keberadaanya dimana. Yang aku tahu, Alif Lam Mim berada di tempat yang baik.

Bila dunia hanya dalam sebuah coretan. Tanpa sebuah pertemuan. Hanya percakapan-percakapan sederhana yang terlukis indah dengan goresan-goresan tinta istimewa. Mungkin tidak akan pernah terbayang oleh benak siapapun, betahun-tahun menjalin hubungan tanpa pernah saling bertatap muka meski hanya sekali. Sesekali di hari sabtu, lewat percakapan udara kami akan saling bercerita.

Bila dunia dalam coretan, setelah hari kelulusan itu bukan lagi menjadi coretan-coretan yang berisikan percakapan antara aku dengan Alif Lam Mim. Coretan-coretan itu berganti menjadi curahan hati seorang perempuan yang merindukan sahabat lamanya. Ya, akulah Dhia Annisa yang tak pernah berhenti menulis untuk Alif Lam Mim. Seraya berharap suatu hari Alif akan membacanya. Tapi hal itu lagi-lagi hanya ada dalam khayalanku belaka. Karena Alif tak akan lagi membaca tulisanku. Ratusan kali aku mencoba mengirim tulisan-tulisan itu padanya, ratusankali pula aku berhasil menggagalkannya.

Bila dunia hanya dalam sebuah coretan

Ku katakana padanya,

Aku merindukannya

Bila dunia hanya dalam sebuah coretan

Ku katakana padanya,

Aku suka mengenangnya

Bila dunia hanya dalam sebuah coretan

Ku katakana padanya,

Mungkinkah ia pernah mengingatku?

Bila dunia hanya dalam sebuah coretan

Ku katakana padanya,

Pernahkah ia merindukanku?

Pun,

Bila dunia hanya dalam sebuah coretan

Kali ini, ku simpan seorang diri

Apakah aku mencintainya?

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now