"Ibu, nanti Nisa juga mau ke sini dengan suami Nisa dan anak anak Nisa"
Aku tertawa dan menggandeng lengan Ibu saat berjalan keluar. Ibu tersenyum menatapku.
"Apa kamu sudah menentukan pilihan, Nduk?"Aku tergugu. Ibu pasti akan menanyakan hal itu. Aku menggeleng. Ibu pasti juga tahu jawabanku. Pilihan itu, bukan satu dari kedua orang itu. Ibu menatapku nanar. Tersenyum. Aku merapatkan gandengan tanganku pada Ibu..
Ibu, terima kasih untuk selalu berusaha mengerti aku. Meski berulang kali Ibu mencoba membujuk ku untuk begini dan begitu. Tapi pada akhirny, Ibu akan mengerti apa inginku. "Pada akhirmya yang akan menjalani ya kamu, nduk". Selalu. Selalu itu yang Ibu katakan kepadaku.Pagi itu, sepulang dari pengajian Ibu aku mengajak Ibu untuk sarapan soto ayam di Warung Pojok dekat pasar. Itu langgananku dengan teman-teman SMA ku dulu. Dan Alif Lam Mim, dia juga pernah bercerita kalau sesekali ketika dia tidak memasak dia akan pergi ke Warung Pojok itu. Tidak begitu istimewa, rasanya seperti soto pada umumnya. Bahkan Ibu bilang "enakan soto buatan Ibu to, nduk!". Ibu-ibu, selalu berkomentar seperti itu jika makan di luar. Akan merasa masakan mereka paling enak. Tapi kalian juga harus tahu, jika Ibu ku juga koki terhebat yang pernah aku miliki. Apalagi Ikan Lele Bumbu ala Ibu, sekali kalian mencicipinya aku menjamin kalian akan terus meminta Ibu untuk memasaknya lagi. Yang istimewa dari warung soto ini adalah tatanan interiornya. Dan keramahan penjualnya. Ibu penjual itu sudah hafal dengan pesananku, soto dengan nasi setengah porsi, satu buah perkedel kentang, kerupuk dan teh tawar panas. "Tidak pernah berubah ya mbak sejak SMA".
" Apa Alif pernah menghubungimu, nduk?" Ibu membuatku tersedak ketika makan. Aku kira Ibu tidak akan pernah mempertanyakan itu lagi. Aku segera meraih botol air minum yang tadi dibawa Ibu. Bingung. Nyatanya, Alif semakin jarang menghunungiku. Bahkan dimana pastinya dia sekarang aku tidak tahu. Palembang. Hanya itu yang aku tahu tentang Alif saat ini. Sisanya? Entahlah. Waktu yag akan bercerita dengan sendirinya dan seterag-terangnya..
"Pernah bu. Komunikasi kami masih berjalan baik" Aku menjawab sekenanya. Iya, komunikasi kami memang masih terbilang baik. Bahkan satu bulan lalu Alif masih menelponku untuk mengucapkan ulang tahun, meski ulang tahunku masih beberapa hari yang akan datang. Katanya "daripada nanti nanti saya jadi yang terakhir ngucapinnya. Mending sekarang jadi yang pertama". Aku tertawa. Itu terakhir kali aku mendengar suara Alif. Pada sabtu sabtu yang lain, bahkan kemarin tak ku dengar lagi suara Alif.Pesantren Alif yang sekarang berbeda aturan dengan Pesantren Alif yang dulu ketika masih di Rawamangun dan juga Bogor. Dulu, hampir setiap sabtu Alif akan menelponku atau sekedar memberi kabar lewat SMS. Tapi sekarang? Entahlah, mungkin memang berbeda aturannya atau memang Alif memiliki alasan tersendiri. Tapi aku yakin, Alif Lam Mim akan kembali menelponku ketika saat itu tiba. Alif Lam Mim tidak akan sanggup berlama-lama tidak menghubungiku. Seperti saat itu. Saat Alif Lam Mim berhasil membuatku menangis semalaman.
" sudah makannya?" Ibu membuyarkan lamunanku tentang Alif Lam Mim.
"Sudah, bu. Mau langsung pulang?" Ibuku mengangguk. Akhirnya setelah membayar soto ayam itu aku dan Ibu pulang. Aku kembali melanjutkan hari mingguku.
....
Hari minggu ini adalah hari pernikahan salah satu teman SMA ku. Aku tentu akan menghadirinya. Sesaat aku terdiam di depan cermin ketika aku merapikan jilbabku. Menatap diriku sendiri yang semakin hari semakin bertambah usia dan berkurang umurnya. Satu persatu teman teman lamaku mulai menikah. Entah ini pernikahan yang ke berapa yang ku hadiri. Dan pertanyaan itu akan selalu terucap dari mulut mereka. "Annisa kapan? Segera menyusul ya jangan lama lama". Aku hanya akan tersenyum menghadapi pertanyaan pertanyaan itu. Tak perlu menjelaskan panjang lebar merekapun mungkin sudah bisa menebak. Bahwa aku masih tergugu untuk menunggu seseorang."Selamat ya Nurul, semoga berkah pernikahannya" . lalu aku mencium pipi kanan dan kiri Nurul. Nurul terlihat cantik dan anggun sekali. Dia adalah teman satu kelas yang dulu duduk tepat di belakangku. Sering menjadi korban keusilanku di tengah tengah jam pelajaran berlangsung. Nurul adalah sosok yang pendiam dan apa adanya. Tidak pernah marah padaku atau siapapum yang menjahilinya. Senyumnya selalu indah. Menampakkan kecantikan dalam dirinya. Seperti hari ini, saat Nurul duduk di pelaminan. Cantiknya bertambah berkali lipat. Ah, Nurul.
"Makasih Annisa. Kamu segera menyusul ya. Ini," Nurul memotek sekuntum bunga melati dari hiasan jilbabnya. Menyerahkannya padaku .
"Dari SMA kamu suka melati kan?" Nurul tersenyum saat menyerahkannya padaku. Rupanya dia masih ingat bunga favoritku itu. Bunga melati.Selesai acara pernikahan Nurul yang ditutup dengan foto bersama, aku kembali pulang. Dan saat itulah aku tahu, jika ternyata pernikahan Nurul dengan suaminya adalah perjodohan. Tunggu, perjodohan? . aku tersentak. Ada hal yang membayangi diriku setiap kali aku mendengar kata perjodohan. Ah Nurul, semoga pernikahan ini menjadi pernikahan terindah untukmu.
. Ja0
YOU ARE READING
Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah Coretan
RomanceBila dunia hanya dalam sebuah coretan, apa yang ada di benakmu ketika mendengar kalimat itu? Alam semesta yang begitu luas ini, ternyata hanyalah seluas kertas yang berisi goresan-goresan tinta cerita kehidupan anak manusia. Goresan tentang kehidupa...