Buku gelatik Alif

41 0 0
                                    


"Yang lalu itu, bak boneka usang yang tertata manis di dalam kotak"
.....
Jam menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Ia masih terpekur menatapku yang dirundung kebimbangan. Tentang lamaran ini, aku dibimbangkan akan dua hal. Jika aku harus memilih satu diantara dua pemuda itu, maka itu berarti aku tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk menemui Alif Lam Mim. Tak akan ada lagi hari sabtu bersama suara Alif Lam Mim. Dan apakah itu artinya aku menyerah atas waktuku selama 5 tahun terakhir ini. Waktu untuk menanti. Semoga saja ini bisa disebut dengan penantian, meski dalam lima tahun itupun banyak laki laki datang silih berganti untuk kembali pergi. Pergi menjauh karena aku yang terus bergeming. Bertahan untuk hal yang menurut mereka samar bagiku. Dan tentang cerita di atas secarik kertas itu, benar benar akan menjadi kenangan yang tertata manis di dalam kotak.

Antara pengabdian dan perjuangan. Antara kebaktian dan mimpi. Selalu, aku dihadapkan pada dua pilihan sulit itu. Aku masih selalu menyimpan mimpiku untuk berkelana. Menjadi perempuan pemburu kebebasan. Menjelajah nusantara. Memetik hikmah dari setiap sudut peliknya hiruk pikuk kehidupan orang orang di luar sana. Tapi, Ayah dan Ibuku bukanlah dua manusia muda lagi. Ku urungkan sejenak mimpi itu. Dan aku memilih tinggal bersama mereka. Biarlah mimpi mimpi itu terpatri dalam kalbu. Suatu hari akan ku upayakan. Aku berjanji dalam diri. Mungkin sembari menemani Alif Lam Mim menyampaikan syiar islam atas ilmu yang ia pelajari selama ini. Ah. Indahnya berkhayal ketika langit mulai kemerehan. Menyisakan siluet satu hari melelahkan yang telah dilalui.
....

Kebimbangan itu, semakin menderu. Mata tak juga terpejam. Meski kupaksakan, tapi pikiran terlalu liar menerobos ke luar. Mencari dimana Alif Lam Mim. Menerka bayangan punggungnya yang kian menjauh melebur bersama siluet langit jingga di Pantai Selatan. Saat ini, aku ingin Alif Lam Mim. Aku ingin mendengar merdunya suara lantunan adzan petang itu. Sekali lagi, karena saat mendengar Alif Lam Mim melantunkan Ayat Ayat Illahi nan suci itulah ku rasakan kedamaian menelisik dari sela sela kegamangan masalah duniawi.

Buku gelatik itu, ku peluk erat. Seolah aku sedang memeluk kepingan kepingan kenangan masa silam bersama Alif Lam Mim. Kebersamaan tanpa pertemuan. Ku peluk erat kenangan itu agar tak hilang dari ingatan.

Waktu terus melaju. Suara kokok ayam memecah keheningan fajar. Aku masih terjaga. Kepala dipenuhi kebimbangan tentang pilihan masa depan. Ayah, haruskah ku terima dia atau dirinya?

Masih ku ingat ketika suatu hari saat makan malam, Ibu menggodaku perihal kiriman paket dari Alif Lam Mim. Meski aku mengelak, tapi aku tetap tidak bisa menyembunyikan rasa malu saat Ibu terus menggodaku di depan Ayah. Laki laki paling istimewa dalam hidupku. Yang ku ingin kelak pendamping hidupku adalah seorang yang seperti Ayah. Mampu membuatku melupakan bagaimana cara untuk marah. Dan selalu membuatku bahagia dengan cara cara sederhana.

Tiba-tiba..
"Kamu serius dengan laki laki itu?" Seketika Ayah menghentikan makannya dan menatap tajam ke arah ku. Lidahku terasa kelu. Tak ada keberanian untuk menjawab "iya Ayah" tapi kata-kata itu urung keluar dari mulutku. Aku justru mengelak dengan mengalihkan topik pembicaraan. Memulai gurauan baru. Menenggelamkan Alif Lam Mim dalam gurauan receh antara aku dan Ayah. Dari sorot mata itu, aku tahu. Ayah tidak akan rela melepasku untuk orang lain. Bagi Ayah aku selalu menjadi putri kecilnya. Yang selalu bahagia jika dibelikan es krim atau makanan kesukaanku lainnya. Sesederhana itu. Cara Ayah membahagiakanku.

Dan tentang Alif Lam Mim. Entah berapa kali sabtu terlewati sejak hari kelulusan sekolah. Berapa kali pula aku menahan amarah, kesal, kecewa karena Alif Lam Mim tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Membiarkanku melewati sabtu dengan harap-harap cemas. Tapi seketika kemarahan itu akan hilang dengan sendirinya di sabtu yang lain. Saat Alif Lam Mim menjelaskan semuanya. Selalu seperti itu.

berbunx

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now