Malam Lebaran Bersama Alif

9 0 0
                                    


"Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar
Laa ilaa haillallahuallahu akbar
Allahu akbar walillahilhamdu"

Gema suara takbir sahut menyahut dari surau ke surau. Esok hari, seluruh umat muslim di dunia akan merayakan kemenangan atas puasa yang telah dilaksanakan selama satu bulan penuh di bulan ramadhan. Hingar bingar alunan takbir yang sesekali diselingi dengan suara petasan menjadikan malam itu benar-benar meriah. Langit tampak hitam kelam tanpa bintang gemintang. Ramadhan tahun ini masuk di bulan-bulan dimana langit akan menampakkan kemurungannya. Matahari bersembunyi di siang hari dan bintang gemintang enggan bersinar di malam hari. Tapi warna warni kembang api sesekali menghias gelapnya angkasa raya.

Anak-anak berlarian kecil memainkan kembang api,sesekali menyalakan petasan untuk merayakan kemenangan bagi mereka. Itulah anak-anak. Merasa menang ketika sudah berhasil menjalankan puasa selama satu bulan penuh. Dan suka cita menyambut hari lebaran karena esok hari mereka akan memakai baju baru, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Sesederhana itu. Tanpa memikirkan bagaimana cara untuk menahan hawa nafsu selama berpusa. Tanpa memikirkan bagaimana cara untuk menjadi baik dan lebih baik lagi setelah hari raya. Agar ada perubahan dari tahun sebelumnya. Itulah anak-anak pada masanya. Masa belajarnya. Lambat laun mereka pun akan memahami makna dari berpuasa yang sesungguhnya. Begitu pula dengan aku dahulu, ketika sedang belajar berpuasa aku sering diam-diam mencuri waktu dari ibu. Diam-diam aku meminum air ketika siang hari dengan cara menelan air ketika berkumur pada saat berwudlu. Barulah aku tahu, saat berpuasa tidak diharuskan untuk berkumur ketika berwudlu. Semoga Allah mengampuni dosa sederhana pada masa kecilku itu.

Ah malam lebaran, ingin juga rasanya aku menikmati malam ini seperti cara anak-anak itu. Seperti Revani dan Shabira dua keponakanku yang terhanyut dalam asiknya bermain kembang api, berlari kecil saling mengejar dengan anak-anak lainnya. Meski malam ini begitu meriah, tapi tidak dengan hatiku. Sedikit terbersit rasa yang tak mudah untuk diterjemahkan. Perasaan itu tidak menyenangkan bagiku. Meski sudah ku coba menepis perasaan itu dengan menyibukkan diri. Membantu ibu menyiapkan segala pernak pernik tatanan untuk lebaran. Mengantar makanan untuk para saudara. Galau. Gamang. Gelisah. Apapun jenis perasaan itu, tak juga sirna dari diriku. Rasa yang sebenarnya selalu ku benci sejak beberapa tahun terakhir dalam kehidupanku.

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Ku lihat HP yang sedari tadi tergeletak di meja. Tidak ada tanda dering nada telepon, terlebih nama Alif Lam Mim. Tidak juga muncul di layar HP. Anak itu, kemana perginya? Tidak biasanya tidak memberi kabar pada saat-saat seperti ini. Bahkan dua tahun lalu, saat Alif Lam Mim pernah memutuskan untuk tidak berhubungan lagi denganku pun tetap menelpon pada saat malam lebaran. Ada apa dengan malam ini?
....

Malam lebaran, 2011. Sekitar pukul 9 malam.

Akhirnya setelah beberapa hari menghilang tanpa kabar Alif Lam Mim menelponku. Dari sana, dari Pesantren Biru di ujung jalan itu. Meminta maaf karena terlalu lama menghilang sejak terakhir kali memberikan kabar bahwa ia tidak memiliki pulsa. Malam itu, menjadi malam lebaran terindah dalam hidupku. Seperti biasa yang indah bagiku, mungkin akan terlihat biasa saja bagi kalian. Dan sudah ku katakan bukan, kalian tidak akan mengerti rasanya menjadi aku.

"Tebak saya sedang ada dimana"
"Di pesantren bukan?"
"Tidak. Mana mungkin pesantren setenang ini"
"Ah. Aku tidak menyadarinya, lalu kamu ada dimana? Di rumah nenek?"
"Kamu tahu Nisa, saya tidak akan berlama lama di sana"
"Oh iya. Kamu kan ke rumah neneknya besok lusa ya, jangan jangan kamu di kuburan sebelah pesantren?"
"Tebakanmu terlalu mengada-ada. Saya ada di sawah"
"Di sawah?" Di luar dugaan sekali
"Iya di sawah. Di belakang madrasah. Mencari ketenangan, dan signal"

Ketenangan. Ah aku tahu. Ketenangan itu adalah agar ia tidak melihat hingar bingar keramaian desa. Melihat wajah wajah bahagia yang berkumpul bersama keluarga. Sedang Alif? Berjauhan dengan keluarganya. Hening. Setelah Alif Lam Mim meminta maaf dan mengucapkan selamat lebaran. Aku tak berani bercerita lebih tentang suasana malam ini di rumahku. Tiba tiba,

"Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar
Laa ilaa haillallahuallahu akbar
Allahu akbar walillahilhamdu"

Aku mendengar dari sebrang sana merdunya suara Alif Lam Mim yang menenangkan tapi juga menyayat hati. Seolah mengingatkan pada dosa-dosa yang telah kita iperbuat. Aku memejamkan mata, mencoba menikmati keindahan merdunya suara Alif Lam Mim. Beberapa saat aku hanya diam. Merekam suara takbir Alif Lam Mim dalam memori hatiku. Tak berapa lama ku ikuti perlahan alunan takbir dari Alif Lam Mim. Sesaat dia terdiam, kemudian kembali berkata:

"Tahukah? Malam ini, meski di sawah yang padang (terang) meski gelap, aku melihat satu bintang bersinar terang. Cobalah keluar dan lihatlah. Begitu cantik"

Aku tak menjawab apapun dan bergegas pergi keluar. Ku edarkan pandangan ke penjuru langit dan ku temukan satu bintang itu.

"Sudah lihat? Kita masih melihat bintang di langit yang sama kan Annisa. Begitu indahnya Kuasa Allah"

Aku mengangguk, meski Alif tak akan melihat. Alif melanjutkan takbirnya. Aku tersenyum. Hening beberapa saat. Sesekali terdengar suara jangkrik mengerik meski agak samar. Mungkin Alif sedang menikmati suasana tenangnya yang sendu.
"Annisa..." Serunya perlahan.
"Iya?"
"Ini adalah untuk pertama kalinya saya berbicara secara langsung dengan perempuan lain setelah Ibu dan kakak saya. Dan kamu adalah perempuan pertama dan satu satunya yang berasal dari luar keluarga dalam hidup saya.
Selamat lebaran Annisa. Selamat malam. Assalamualaikum"

Aku tertegun. Tidak menyangka tentang pengakuan Alif Lam Mim barusan. Sejujurnya aku merasa senang.
"Waalaikumsalam" jawabku perlahan. Telpon dimatikan. Aku kembali masuk ke dalam kamar. Diam-diam memandangi foto Alif Lam Mim yang diam-diam juga ku ambil saat study tour bulan Mei lalu.
....

Lima tahun berlalu. Kali ini adalah lebaran ke lima yang aku lewati bersama Alif Lam Mim,meski tak pernah sekalipun kita bertatap muka. Hanya percakapan-percakapan udara yang menyuarakan kisah hidup masing-masing.
Jika hari itu aku adalah perempuan pertama dan satu-satunya, mungkinkah malam ini aku juga masih menjadi yang pertama dan satu-satunya

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now