Semakin Jauh Tak Terlihat

15 0 0
                                    



....

Pertengahan bulan Juli 2012 Alif bertandang ke Ibu Kota. Bersaing dengan ribuan peserta lainnya yang juga ingin belajar di Pesantren Sulaiman yang terkenal telah memiliki cabang hamper di seluruh dunia. Salah satunya adalah Negri Bulan Bintang yang merupakan Negara tujuan Alif Lam Mim. Sejak jauh-jauh hari Alif telah menyiapkan semuanya, melahap semua kitab dalam hitungan beberapa bulan saja dan menghaafalkan 5 juz dalam Al Quran. Meski sempat ragu untuk melanjutkan, namun pada akhirnya Alif Lam Mim memilih melanjutkan perjuangan. Dialah Alifku yang kadang tak memiliki keberanian untuk meyakini bahwa dirinya bisa dan mampu. Maka saat itulah aku akan terus mendorongnya agar dia terus semangat untuk mencapai cita-citanya. Pada hari pengumuman seleksi penerimaan siswa baru di Pesantren Sulaiman itu aku sendiri merasa deg-degan, bagaimana dengan Alif. Tapi aku selalu yakin Alif mampu. Maka tibalah harinya, Alif Lam Mim pun berangkat ke Jakarta. Dan aku, memulai kehidupan baru di Semarang.

Sabtu pertama, tak ada kabar dari Alif, sabtu kedua masih sama, sampai akhirnya pada sabtu ke empat. Nama Alif Lam Mim muncul di layar HP.

"Assalamualaikum". Katanya dengan suara yang terdengar bahagia.

"Waalaikumsalam. Apa kabar?'

Dan percakapan itu berlanjut hingga beberapa jam kemudian. Banyak cerita bergulir melalui percakapan-percakapan udara. Tentang Jakarta yang panas dan penuh kemacetan. Alif tidak menyukainya. Tentang kehidupannya yang jauh lebih baik dari sebelumnyaa. Tempat tidur yang nyaman dan ruangan yang dipenuhi udara dingin dari Air Conditioner. Aku senang, Alif mulai lebih banyak bercerita.

Hari berganti, musim kembali pada musim penghujan, dan tahun telah berganti. Pada pertengahan tahun 2014, Alif dipindahkan dari Rawa Mangun menuju Puncak, Bogor. Sungguh kehidupan yang penuh dengan perjalanan. Membuatku iri. Tetap di lingkungan Pesantren Sulaiman. Jika sabtu tiba, telponku akan bordering dan akan terdengar suaraa Alif Lam Mim dari sana. Kadang samar, kadang terdengar begitu keras seperti ia menunjukkan kebahagiaan, dan kadangkala terdengar parau. Mungkin saat itu Alif sedang sakit. Katanya, setiap sabtu Alif akan pergi ke atas menara. Mencari ketengan dan saat itulah hanya ada suaraku yang terdengar di sana. Alif Lam Mim tak pernah berubah. Tidak menyukai kebisingan. Atau mungkin saja ia malu jika ketahuan sedang menelpon seorang perempuan.

Musim kembali pada musim kemarau. Hujan berbulan-bulan tak turun. Petani mulai mengeluh karena tidak bisa mengairi sawahnya. Dan Alif, sekali lagi akan berkelana. Sekitar penutup tahun 2015 Alif Lam Mim dipindahkan kembali ke tempat lain dari Bogor. Kali ini semakin jauh dari ku. Tapi dekat dengan tanah kandungnya. Alif dipindahkan ke Palembang. Dengan alasan tertentu. Semakin jauh, semakin tak terlihat. Semakin sedikit kemungkinan untuk menemui Alif. Meski bisa saja detik ini juga aku bertandang ke sana dengan dalih menemui saudara yang ada di Palembang pula.

Pada suatu sabtu, aku yang bercerita kepada Alif. Tentang kekagumanku pada Ampera sejak dulu. Ampera yang terlihat gagah dan Musi yang mendampinginya dengan tenang. Seperti dua sejoli yang sengaja diciptakan tuhan untuk selalu berdampingan. Jika di timur tengah ada mesir dan sungai nil, maka di tanah Indonesia aku mempunyai Ampera dan Sungai Musi. Aku ingin melihat keduanya sekali lagi. Pada malam hari, yang katanya akan dipenuhi dengan kelap kelipnya lampu. Pasti akan terlihat sangat cantik.

Akhirnya pada sabtu yang lain, Alif mengabarkan bahwa dirinya sedang berada di Palembang Kota. Melihat Ampera. Membuatku sangat iri dan serasa ingin menyusul ke sana ssekarang juga. Ah, seandainya jawa dan sumatera jaraknya sedekat seperti yang Nampak di dalam peta. Pasti akan ku susul sekarang juga. Bersama-sama duduk, diam menikmati waktu sore hari. Sembari menunggu senja. Tapi hal itu jelas hanya akan selalu ada dalam khayalanku.

Hampir setiap sabtu, Alif menelpon dan hampir di setiap sabtu itu pula Alif mengatakan bahwa ia sedang berada di Ampera. Bahkan kadang, Alif menelponku hanya untuk memamerkan bahwa ia sedang duduk melihat ramainya jembatan Ampera dilewati kendaraan. Jika aku selalu mengunjungi Jogja maka kali ini Alif yang selalu mengunjungi Ampera. Semakin jauh, semakin tak terlihat.

Dan Lalu

Dan lalu,

Pada suatu hari aku mulai mengagumi Ampera

Membayangkan kecantikannya pada malam hari

Mendambakan ketenangan aliran musi

Yang menuju Batanghari

Dan lalu,

Pada suatu hari kau bertandang ke Ampera

Menunggu senja

Menghabiskan malam-malam panjang di sana

Bersua dengan para ulama

Hausmu pada ilmu membuatku semakin mengagumimu

Membuatku semakin diam

Membuatku harus berlari

Membuatku kembali pada tuhan

Dan lalu,

Pada suatu hari

Lewat percakapan udara

Suaramu terdengaar parau

Mungkin gelisah tengah menghampirimu

Dan lalu,

Pada hari yang lain

Melalui percakapaan udara

Suaramu terdengar bahagia

Dan ku harap, kau selalu baik-baik saja 

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now