Alif, Senyumlah

32 0 0
                                    


Annisa, tersenyumlah....

Itu adalah satu kalimat Alif Lam Mim dari salah satu suratnya yang selalu ku ingat. Meski Alif tak pernah melihat senyumku dari dekat. Senyum. Untuk setiap kebahagiaan dan juga kesedihan. Untuk kekecewaan dari sebuah pengharapan. Dalam sebuah suratku, aku pernah bercerita tentang kekecewaan ku pada seseorang.

"Annisa, tersenyumlah. Karena kamu akan terlihat sangat jelek jika seharian di sekolah hanya cemberut saja.


Saya memang tidak bisa mengatasi masalah yang sedang kamu hadapi. Tapi saya akan memberi tahu kepada kamu siapa yang dapat mengatasi masalah pelik yang kamu hadapi sekarang ini. Yaitu Allah Swt. Kamu curahkan semua yang kamu rasakan kepada Allah inshaa Allah akan jalan keluarnya. Yang bisa saya katakan hanya tersenyumlah wahai monyet cantik. Tersenyumlah wahai sahabatku. Karena dengan tersenyum kamu akan semakin kuat. Karena dengan tersenyum ibu kamu pun akan lebih merasa baik keadaannya.
Annisa, tersenyumlah. Karena aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu. "

Sampai detik ini aku selalu mengingat kata-kata Alif Lam Mim untuk terus tersenyum dalam suasana apapun. Seberat apapun masalah yang ku hadapi. Aku pernah berada di titik terendah kelemahanku sebagai manusia. Dan hari itu selain Ibu, adalah Alif Lam Mim seseorang yang ku percaya. Ku perdengarkan semua masalah yang ku hadapi. Masalah dalam keluarga ku yang orang-orang tak tahu entah kenapa aku membiarkan Alif Lam Mim mengetahuinya. Dan sejak saat itu pula aku meminta kepada Alif untuk selalu tersenyum kepadaku. Karena aku merasa saat itu Alif Lam Mim juga merupakan salah satu penguat bagiku untuk terus bersekolah.

Hingga suatu hari, Sedari pagi aku tak melihat senyum Alif Lam Mim. Melihatku pun seolah berpaling. Ku lihat ia hanya menundukkan kepala ketika bersama teman-teman nya yang lewat di depan kelasku untuk menuju masjid sekolah. Ada apa? Aku bertanya dalam hati. Tak biasanya Alif Lam Mim seperti ini semenjak kami saling mengenal. Ku tanyakan pada Rasya dia juga tak tahu, sedari pagi Alif hanya diam. Tak menanggapi gurauan Rasya saat ia menyampaikan surat dari ku. Aku bertanya pada Habib teman satu kamarnya,
"Beberapa hari ini aku ndak tidur pesantren Dhi, hehe aku numpang di rumah Adi"
Ahh, anak itu tak juga berubah padahal sudah hampir ujian. Akhirnya aku kembali ke kelas Rasya dan mencari Aryo. Aryo pasti tahu pikirku.

"Wah maap An, aku baru ijin pulang ke rumah ndak pulang ke pondok jadi ndak tahu si Alif kenapa"

Ahh. Kenapa harus semuanya tidak tahu. Ingin sekali aku langsung menanyakan pada Alif Lam Mim, tapi hal itu tidak akan pernah terjadi.
Bel tanda istirahat selesai telah berbunyi. Aku bergegas meninggalkan kelas Rasya sebelum Alif Lam Mim kembali ke kelas.

Apa yang terjadi padamu Alif?
....

Keesokan harinya.

Pagi-pagi sekali aku telah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ibu sedikit heran melihat aku rajin sekali pagi ini. Si ganteng telah siap mentereng di teras rumah sejak subuh tadi. Aku ingin berangkat lebih pagi dari Alif Lam Mim hari ini. Jam menunjukkan pukul 6 pas saat aku keluar dari rumah. Seharusnya nanti di pertigaan jalan aku bisa berpapasan dengan rombongan Alif Lam Mim yang berjalan menuju sekolah. Tapi ternyata hari itu aku tidak bertemu Alif di jalan. Oke, mungkin ini masih terlalu pagi jadi aku akan menunggu di sekolah saja. Sampai tiba di sekolahpun ternyata jugamasih sepi. Yang ada hanya Pak Gun.

"Pagi mbak, kok tumben sudah berangkat jam segini. Apa OSIS mau ada acara mbak? Tapi kok tumben mba Nisa ga dijemput mas Rasya." Tanya Pak Gun padaku yang keheranan karena melihatku berangkat sekolah pagi tanpa Rasya. Karena biasanya jika ada acara sekolah atau OSIS maka orang yang pertama di sekolah adalah Rasya, dan dimana ada Rasya pasti disitu ada aku.

Bila Dunia Hanya Dalam Sebuah CoretanWhere stories live. Discover now