9

2.4K 256 16
                                    

Sorry for typo and happy reading...

Author's  POV

Menunggu, adalah hal yang dari semalam dilakukan gadis mungil berkulit putih ini. Garis dibawah matanya cukup menandakan bahwa ada yang salah dengan tidurnya semalam.

Ia tak henti memandang keluar pintu kalau kalau saja orang yang ditunggunya datang.
.
.
.
.
.
Sementara itu ditempat lain seorang gadis lain bangun dari tidurnya dengan sebuah kompres instan menempel dikepalanya.

Beranjak dari kasur dan keluar kamar dengan langkah gontai, semua hal yang dilaluinya kemarin cukup menguras tenaga juga emosinya.

Ia berjalan ke dapur untuk mencari segelas air, rumah ini bukan lagi sebuah tempat asing baginya.

Setelah selesai dengan semua urusan bangun tidurnya, ia berjalan ke halaman belakang dan menemukan seseorang yang tak asing sedang melakukan peregangan disebuah lapangan basket kecil.

"Kak Naomi!". Sapanya. Gadis yang dipanggil Naomi itu menengok.

"Udah sehat lo?". Lidya mengangguk.

Ia pun ikut melakukan peregangan bersama Naomi. "Ternyata lo masih suka olahraga juga yaa..". Gurau Lidya.

"Yaiyalah, lo masih suka dateng ke sanggar?". Tanya Naomi.

"Enggak". Jawabnya sambil menggeleng.

"Hmm... Kabarnya si 'itu' gimana?". Tanya Naomi ragu-ragu.

" itu siapa?".

"Ishh... Masa lo gak tau sih". Decaknya kesal.

Lidya hanya terkekeh mendengarnya. "Kenapa gak lo tanya langsung aja, lo kan yang deket sama dia". Kata Lidya.

"Malu gue, udah empat tahun semenjak dia pergi ke luar negeri kita gak pernah ada komunikasi". Jawab Naomi malu-malu. Lidya paham betul apa dan siapa yang dimaksud Naomi, yang jelas dia adalah orang yang dekat sekali dengannya.

Setelah selesai melakukan peregangan mereka langsung pindah ke ruang olahraga. Selesai memakai hand wrap Lidya langsung mengambil sarung tinju berwarna biru milik Naomi. Sementara Naomi mengambil sepasang punch mitt yang ia pasangkan pada kedua tangannya.

Lidya sudah mengepal kedua tangannya bersiap-siap untuk memukul.

Bugh! Satu pukulan dilayangkan Lidya yang langsung dtahan oleh tangan Naomi.

"Lo kenapa Lid?".

Bugh!

Tak!

"Kenapa apanya?".

Sebuah pukulan keras kembali dilayangkan Lidya.

Bugh!

"Gak mungkin mukul sampe nafsu kayak gitu kalo lagi gak ada masalah, liat tuh muka sampe merah". Tukas Naomi.

Bugh!

Lidya hanya terus memukul punch mitt yang dikenakan ditelapak tangan Naomi tanpa menjawab.

"Masalah cinta?".

Lidya menghentikan pukulannya lalu terdiam. "Ck, sok tau lo". Decaknya. "Tapi bener sih". Ucapnya pelan.

Bugh! Satu pukulan kembali melayang dengan kerasnya.

"Gak mau cerita nih?".

"Urusan lo sama Kakak tua aja belum kelar, mau dengerin masalah gue". Decaknya.

Mereka lalu menghentikan kegiatan pukul memukul lalu duduk dilantai. Naomi langsung melepas punch mitt ditangannya lalu meminum sebotol air mineral. Latihan sebentar saja sudah membuatnya lelah dan lapar, ia dan Lidya pun memutuskan untuk pergi mencari sarapan bersama tentunya dengan Sinka juga.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Kalo kamu mau cek ke dokter telfon aku aja yaa.. Dudut siap kok 24 jam". Ucap Sinka pada Lidya sebelum ia turun dari mobil.

"Siap boss!!". Sahut gadis berambut pendek itu sambil berlagak hormat.

Setelah mobil Sinka berlalu Lidya langsung melangkahkan kakinya masuk ke rumah.

Ia sudah menerka bahwa Melody akan marah besar padanya. Tapi ia tetap saja berjalan dengan acuh dan santai.

Langkahnya terhenti saat melihat Melody sedang melamun dimeja makan dengan tatapan kosongnya. Ia tetap lanjut berjalan bahkan tidak menyapa sama sekali.

Baru satu langkah kakinya menaiki anak tangga, "Dari mana kamu?!". Tanya Melody dengan nada tinggi.
Lidya hanya diam tak menjawab kembali menaiki tangga.

"Aku bilang jangan pulang kemaleman, kamu malah gak pulang!! Aku khawatir Lidya! Kalo sampe kamu kenapa-napa gimana?!!". Tukasnya penuh emosi, namun Lidya tetap diam dan enggan untuk menatapnya.

"Kakak gak perlu khawatir, aku nginep dirumah Sinka karena pulang dari rumah sakit kemaleman. Lagian bukannya Kakak gak peduli sama aku". Ucapnya dingin dan menusuk. Ia langsung pergi begitu saja tanpa melihat kearah Melody.

Lidya langsung masuk ke kamar dan membanting tubuhnya kasar keatas kasur. Mencengkram kepalanya kuat-kuat mencoba meredam rasa sakit dikepalanya yang kembali timbul.

Bahkan dengan melihat wanita itu saja sudah membuat pertahanan yang ia bangun runtuh begitu saja. Wajahnya menghadap ke langit-langit kamar yang berwarna putih polos mencoba menahan air mata agar tidak keluar.
.
.
.
.
.
.
Malam ini seakan mendukung suasana hatinya, langit hitam yang gelap tanpa bintang dengan hembusan angin yang kencang. Sepertinya pergantian musim telah tiba.

Lidya tak beranjak dari balkon kamarnya, walaupun air hujan sudah mulai turun dihembus angin malam yang kencang. Hujan dan petir ini seolah menjadi sahabat yang paling mengerti keadaannya saat ini.

Ia memejamkan matanya membiarkan air hujan membasahi setiap inci wajahnya yang masih nampak pucat.

"Masuk Lid, ini hujan nanti kamu sakit lagi". Suara itu cukup menggetarkan hatinya. Ia tetap diam
tak menjawab bahkan tak juga menoleh.

"Sinka udah cerita semuanya ditelfon, dia udah ceritain semuanya, aku... Minta maaf". Ucap Melody langsung membuat tubuh Lidya menegang dan wajahnya semakin pucat.

"Dia udah ceritain semua?". Ulangnya dengan ekspresi wajah takutnya.

"Iya.. Dia bilang kamu kemarin ujan-ujanan terus kamu sakit, makanya dia paksa kamu nginep dirumahnya, dia juga udah cerita ke aku tentang hasil periksa kepala kamu". Ucap Melody. Ia lalu menghampiri Lidya.

"Udah? Itu aja?".

"Iya, memangnya kenapa sih? Kok kamu jadi tegang gitu?". Tanya Melody polos.

Lidya langsung bernafas lega mendengarnya, untuk Sinka tidak memberitahu alasan sebenarnya.

Ia lalu memeluk Lidya dari belakang. Menempelkan pipinya dipunggung Lidya."Aku minta maaf karena tadi marah-marah sama kamu, itu semua karena aku khawatir". Ucapnya lembut.

"Aku itu sayang sama kamu,". Senyum Lidya mengembang.

"Sama kayak aku sayang sama Nabilah, kamu itu udah aku anggep adik kandung aku sendiri Lid...". Belum semenit Lidya dibuat terbang dengan kata-katanya kini ia langsung dihempas hingga kedalam bumi. Senyum yang tadi terulas langsung hilang begitu saja.

"Aku ngantuk Kak mau tidur, mending Kakak ke kamar Kakak sekarang". Ucapnya kembali dingin. Melody hanya bisa menghela nafasnya kasar sambil menatap Lidya yang kembali masuk ke kamarnya.

'Semarah itu kamu Lid? Cuma karena aku gak anter kamu ke rumahnya sakit'.

Padahal bukan, bukan itu penyebab sikap dingin Lidya padanya. Hari ini adalah hari yang berat untuk Lidya, semoga saja akan ada pencerahan di hari-hari selanjutnya.

Hai... Author balik lagi:)) gimana part yg ini?? Bagus kah?? Janlup votenya yaaa...

Kritik dan saran juga diperlukan, author jdi kepikiran pengen buat QnA sama request deh, biar rame aja gitu... Setuju gak? Setuju gak??

Kalo mau silakan kirim question dan requestnya dicomment!! Saran dan kritik pun tak apa:)


My Lovely MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang